MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Oleh; Syukron Ma'mun Aro, MA.
Uraian ini diarahkan untuk memberikan gambaran umum historis yang menunjang fokus utama
kajian ini, yang bertujuan untuk melihat kompleksitas versi tentang kebenaran adanya
sosok da’i yang sangat berpengaruh di negeri Nusantara ini, Sunan Ampel. Karena
tujuan inilah, penulis akan membahas proses Islamisasi di tanah Jawa sebagai
pencarian akar historis sosok Sunan Ampel dengan merunut fakta sejarahnya yang
banyak disinyalir oleh sebagian kalangan sebagai legenda dan dongeng belaka.
Demikian ini agar kebenaran fakta sejarah Sunan Ampel tidak terdistorsi oleh
cerita-cerita legenda rakyat Nusantara.
Sebelum
kedatangan Islam di negeri ini, Indonesia, yang merupakan bagian utama dari
kepulauan Melayu di Asia Tenggara, didominasi oleh sistem-sistem keyakinan yang
kompleks serta praktek-prektek yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan
setempat (termasuk animisme dan politeisme), agama Hindu maupun agama Budha.
Ini terbukti dari lestarinya sistem-sistem ini dalam berbagai tingkatan dan
masih bisa disaksikan sekarang di berbagai tempat di negeri ini. Candi
Borobudur yang indah di Jawa Tengah menjadi saksi warisan utama dari agama
Budha Indonesia, sementara candi Hindu seperti Prambanan juga dapat disaksikan
begitu dekat. Di Bali, orang akan dapat menyaksikan banyak candi dan tempat
ritual agama Hindu, sedangkan pulau itu sendiri dijuluki sebagai “Pulau
Dewata”. Begitu pula di Sumatera, sisa-sisa peninggalan dari kerajaan Budha
Sriwijaya yang besar dapat dilihat terutama di Palembang dan Jambi. Beberapa di
antara sisa-sisa peninggalan ini telah dipugar meski masih banyak yang rusak
serta tidak meninggalkan benda-benda pusaka (artifact) yang berarti.
Kedatangan agama
Islam tampaknya tidak berusaha membumi-hanguskan sistem-sistem yang sudah ada,
pun sebaliknya tidak menolak sistem-sistem lainnya, seperti agama Kristen.
Sehingga secara resmi Republik ini mengakui keberadaan lima agama secara
berdampingan, yaitu; Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan[1].
Meski tidak dimasukkan atau diakui secara resmi, eksistensi dan praktek-praktek
animisme telah diterima secara ragu-ragu, khususnya budaya yang ditemukan di
pedalaman. Hal ini tampak pada sebagian masyarakat Jawa yang masih percaya kepada
penyambahan terhadap para roh leluhur, seperti halnya diketemukan di masyarakat
Kubu (Suku Anak Dalam) di Jambi dan Dayak di Kalimantan serta kelompok-kelompok
etnis di Minahasa, Sulawesi[2].
Setelah mengenal
berbagai sistem keyakinan maupun praktek keagamaan, masyartakat Indonesia masa
awal masih begitu mudah tergelincir ke dalam sinkretisme agama, yakni mengambil
sebagian dari sistem untuk membentuk suatu sistem yang lain. Tidak salah jika
orang mengasumsikan kalau masyarakat Indonesia ini, pada umumnya adalah
penganut adaptasionis atau kompromistis[3].
Dengan kata lain, bahwa orang akan sulit menemukan pada Indonesia lama seorang
yang “murni” Hindu, Budha, atau Muslim, di mana dia dapat menjalankan
sepenuhnya versi “asli” dari agama yang ia anut tersebut[4].
Asumsi ini
terbukti bila kita mempelajari keberhasilan dan proses Islamisasi yang damai -minimal untuk beberapa periode-
di Indonesia. Para da’i masa awal mampu memperkenalkan Islam dengan mengadopsi
sistem-sistem keyakinan yang ada dan memasukkan paham dan cita-cita Islam ke
dalam sistem-sistem keyakinan itu sebagaimana yang dipahami oleh para da’i
Islam tersebut. Dengan cara seperti ini, maka proses tersebut berjalan dalam
kurun waktu yang amat panjang di mana selama itu muncul berbagai kemajuan, berkembangnya
banyak aspek serta banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam skala yang
besar, Islamisasi di Indonesia bisa dianggap sebagai salah satu episode dari
Islamisasi dunia yang telah berlangsung sejak masa-masa awal pasca wafatnya
Nabi Muhammad Saw, ekspansi oleh para Sahabat serta munculnya dinasti-dinasti
berikutnya, seperti dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Sebagaimana kebanyakan
agama lainnya, kontak Indonesia dengan Islam masa awal dimungkinkan berjalan
lewat para pedagang yang mengikuti rute perdagangan yang sudah ada sebelumnya.
Selama kekuasaan Umar ibn Khattab (634-644 M) wilayah Islam yang disebut
sebagai Dar al-Islam telah menguasai sebagian besar dari kerajaan
Byzantium (Romawi) dan Persia hingga berkembang ke berbagai penjuru dunia.
Dengan begitu dapat dipahami kalau ekspansi Islam itu dapat menyebar ke benua
Asia, termasuk Asia Tenggara[5].
Terdapat dua
teori besar yang ditawarkan oleh para intelektual yang mengkaji kapan masuknya
Islam di Indonesia, yang pertama menyimpulkan bahwa Islam itu
diintrodusir pada abad kedua hijrah, atau bersamaan dengan abad ke-7 dan abad
ke-8 Masehi. Teori kedua memberikan kesimpulan pada sekiktar abad ke-13
Masehi. Masing-masing teori agaknya perlu diuji dengan bukti materil yang
dipandang penting untuk mengokohkan -atau membuat ragu- eksistensi maupun
keterpercayaan (reliability) data sejarah yang disuguhkan[6].
Bukti empiris
berbentuk materi (baca; indrawi) dari teori yang pertama memang terbilang
langka. Namun demikian, berdasarkan kecenderungan umum dari ekspansi Islam ke
berbagai penjuru dunia memungkinkan terjadinya kontak Islam dengan orang
Indonesia bertolak dari rute-rute perdagangan dunia yang berfungsi signifikan
dalam proses Islamisasi. Sebagaimana diungkap oleh Ahmad Haris, adalah
Groeneveldt seorang pengkaji sejarah Islam menunjukkan tahun perhitungan
hubungan saudagar-saudagar Arab dengan koleganya di bagian Timur. Menurutnya
yang mengacu kepada sumber-sumber catatan dari Cina, orang-orang Arab sudah
melakukan hubungan dagang dengan Srilanka (Ceylon) pada abad ke-2 sebelum
Masehi, dengan Cina pada abad ke-7 Masehi; dan mereka juga dijumpai di Canton,
Cina, pada pertengahan abad ke-8. Catatan lainnya juga menurutnya ditemukan
pada Babad Cina yang menyebutkan seorang pemimpin Arab -yang boleh jadi merupakan
kepala perkampungan Arab- di Sumatera sebelum tahun 674 M[7].
Dengan
mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang muncul dari catatan-catatan ini,
sejumlah intelektual telah sampai pada asumsi bahwa tahun 674-lah yang menjadi
era pertama hubungan antara para pembawa Islam dan orang Indonesia[8].
Ini agaknya bukan “Islamisasi” dalam arti melibatkan sejumlah besar orang,
tetapi merupakan cikal bakal Islamisasi telah ada sejak munculnya orang-orang
Islam di wilayah ini dan adanya interaksi mereka dengan masyarakat. Data
sejarah ini didukung oleh hasil beberapa seminar tentang kapan masuknya Islam
di Indonesia yang dilaksanakan beberapa kali dan di berbagai tempat sejak tahun
1963[9].
Adapun teori
kedua, Islam datang di Indonesia pada abad ke-12 atau 13, memiliki beragam
bukti materi (empiris) sebagai pendukungnya. Yang paling terkenal di antaranya
adalah sebuah prasasti berbahasa Arab yang ditemukan di Leran, Gresik, Jawa
timur bertanggal 475 H/1082 atau 1102 M. prasati tersebut terukir di atas
sebuah batu nisan dari kuburan seorang wanita muslim bertuliskan “Fatimah binti
Maimun ibn Hibat Allah”[10].
Bukti galian
arkeologi di sekitar kompleks makam berupa mangkuk-mangkuk keramik berasal dari
abad ke-10 dan ke-11 Masehi, serta inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti
Maimun di sisi lain dapat dihubungkan dengan para imigran suku Lor dari Persia
yang pada abad ke-10 Masehi berimigrasi ke Jawa dengan mendirikan pemukiman
yang bernama Loram atau Leran di Gresik. Itu berarti Fatimah binti Maimun yang
wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 475 H/1082 M itu dimungkinkan bukan seorang
wanita asing melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim awal suku
Lor yang tinggal di Leran sejak abad ke-10 M[11].
Bukti lainnya
adalah sebuah laporan yang diberikan oleh Marco Polo yang mengunjungi Perlak di
Sumatera utara pada tahun 1292 di mana ia menemukan banyak “saudagar muslim”
yang telah mengubah banyak masyarakat setempat menjadi penganut hukum Islam.
Laporan ini meyakinkan banyak intelektual sehingga periode 1292 dianggap sebagi
tahap pertama Islam Indonesia. Hal ini diperkuat pula oleh temuan penjelajah
dari Maroko, Ibn Battutah (1304-1377) yang mela;porkan bahwa pada tahun
1345/1346 raja Samudera Pasai telah menjadi seorang muslim[12].
Ditambah lagi dengan adanya makam Mawlana Malik Ibrahim -yang merupakan cikal
bakal keturunan para wali penyebar Islam di Jawa yang terkenal dengan sebutan
Wali Songo- di Gresik dengan catatan tahun wafatnya pada 1419 M[13].
Meski kedua teori masuknya Islam di Indonesia
tersebut berbeda, sebenarnya dapat disatukan. Meminjam teori ushul fikih yang
menyebutkan bahwa jika ada dua dalil yang bertentangan namun masih dapat
disatukan maka yang harus dicari ialah titik temu dari keduanya (al-jami’).
Oleh karenanya, menurut hemat penulis, beberapa versi di atas dapat disatukan
dengan melalui tiga pendekatan. Pertama, seperti yang disetujui oleh
benyak intelektual Indonesia, orangh harus membedakan antara hubungan awal yang
sebenarnya dengan Islam di Indonesia yang mewakili teori pertama, dan
perkembangan penting berikutnya dari agama Islam di Indonesia sebagaimana
dibuktikan oleh kemunculan beberapa kerajaan Islam yang diwakili oleh teori
kedua. Kedua, sebagaimana telah dinyatakan oleh Groeneveltdt serta
lainnya bahwa kontak awal itu amat jelas manakala menggujnakan penilaian
deduktif, dengan bersandarkan pada dasar-dasar historis yang lebih dapat
dibuktikan mengenai hubungan Arab-Cina kuno. Perkembangan berikutnya lebih
jelas dengan adanya tulisan-tulisan dan laporan asing sebelumnya. Terakhir, ketiga,
sebagaimana ditunjukkan oleh Hasymy, kitab-kitab dan tarikh-tarikh setempat
bisa -atau malah seharusnya- dipertimbangkan. Dengan kata lain, bukanlah
tindakan yang tepat bila mengabaikan sejarah semacam itu hanya lantaran tidak
memiliki bukti yang tercatat ataupun bukti materi, apalagi bila ketiadaan
sumber itu lantaran ketidak-pedulian seseorang terhadap sumber-sumber yang
ternyata telah dikenal oleh orang lain.
Dengan demikian,
sebagaimana Hasymy menyimpulkan, proses Islamisasi di Indonesia mengalami tiga
perkembangan, (1) kontak-kontak paling awal yang bermula dari tahun 674 m; (2)
mendapat kedudukan yang kuat di daerah-daerah kepulauan sejak tahun 878 M; dan
(3) meraih kekuatan politik yang berakibat pada konversi besar-besaran yang
berlangsung dari tahun 1204 dan seterusnya[14].
Berdasarkan data-data sejarah masuknya Islam di Indonesia ini maka dapat
dimungkinkan bahwa tanah Jawa telah melalui ketiga proses Islamisasi yang
sangat panjang ini dan mengalami puncak kejayaannya pada era dakwah Wali Songo
yang dipelopori oleh Sunan Ampel yang berhasil mendirikan pemerintahan Islam
pertama di pulau Jawa, yakni Kesultanan Demak Bintoro[15].
[1] Pengakuan resmi negara terhadap
kelima agama ini di Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah melalui Departemen
Agama pada tahun 1955.
[2] Ahmad Haris, Islam Inovatif;
Eksposisi Bid’ah Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta; Gaung Persada Press,
2007), cet. Pertama, h.22
[3] Lihat misalnya, H. Dedi Ismatullah, Sejarah
Sosial Hukum Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-1, h. 358.
[4] Ahmad Haris, Ibid.
[5] Ahmad Haris, Ibid. h.23
[6] Kedua teori ini merupakan dua versi
besar yang diyakini oleh para sejarawan sebagai fakta sejarah masuknya Islam di
Indonesia. Perbedaan keduanya menurut hemat penulis disebabkan oleh sudut
pandang mengenai Islamisasi yang dilakukan oleh individual dan Islamisasi yang
terorganisir serta dalam skala yang lebih luas serta pada wilayah yang berbeda.
Hal ini terlihat dari para tokoh da’i yang membawanya, di mana pengaruh gerakan
mereka berdampak pada sekitar wilayah dakwahnya.
[7] Ahmad Haris, Op.Cit., h.24
[8] Ibid.
[9]Seminar yang pertama diadakan di
Medan pada tahun 1963, lalu disusul seminar di Padanng pada tahun 1969, Aceh
(a978 dan 1980), Jakarta (1982), dan Palembang (1984). Bahkan Hasymy, salah
seorang tokoh penting dalam seminar ini menggunakan tiga sumber, dua di
antaranya aganya kurang dipakai oleh kebanyakan sejarawan Barat atau lainnya,
yakni Kitab Izhar al-Haqq karya abu Ishaq Mekrani al-Fashi (w. tidak
diketahui), Kitab Tazkirat Tabaqat Jumu’ Sulthan al-Salatin oleh Syeikh
Syamsul Bahri Abdullah al-Ashi (w. tidak diketahui), dan yang terkenal Silsilah
raja-raja Perlak dan Pasai dengan catatan ringkas oleh Sayyid Abdullah bin
Sayyid Habib Saifuddin (w. tidak diketahui). Dari sumber-sumber yang tidak
biasa ini, Hasymy menginformasikan kepada kita bahwa pada tahun 173 H/789 M
sebuah kapal dagang dating dari Cambai, di Gujarat dan dipenuhi oleh para da’I
Islam yang dipimpin oleh seorang Arab bernama Nahkoda Khalifah (w. tidak
diketahui) tiba di pelabuhan Perlak. Perlak dinyatakan sebagai sebuah kerajaan
Islam pada tahun 225 H/840 M dengan raja pertamanya Sultan Alaidin Sayyid
Maulana Abdul Aziz Syah (840-864). Ibid. h. 25
[10] Ibid. h.26. Lihat juga; Agus Sunyoto, Wali
Songo; Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, (Jakarta; Trans Pustaka,
2011), cet. Ke-1, h. 37.
[13] H.J. De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan
Islam Pertama Di Jawa; Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terjemahan
dari judul asli De Eestre Moslemse Vorstendommen op Java; Studien Over de
Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de Eeuw, (Jakarta; Pustaka
Utama Grafiti, 2003), cet. Ke-5, h. 22
[15] Agus Sunyoto, Op. Cit. h. 102