Translate

Kamis, 16 Mei 2013

MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA




MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Oleh; Syukron Ma'mun Aro, MA.
Uraian ini diarahkan untuk memberikan gambaran umum historis yang menunjang fokus utama kajian ini, yang bertujuan untuk melihat kompleksitas versi tentang kebenaran adanya sosok da’i yang sangat berpengaruh di negeri Nusantara ini, Sunan Ampel. Karena tujuan inilah, penulis akan membahas proses Islamisasi di tanah Jawa sebagai pencarian akar historis sosok Sunan Ampel dengan merunut fakta sejarahnya yang banyak disinyalir oleh sebagian kalangan sebagai legenda dan dongeng belaka. Demikian ini agar kebenaran fakta sejarah Sunan Ampel tidak terdistorsi oleh cerita-cerita legenda rakyat Nusantara.
Sebelum kedatangan Islam di negeri ini, Indonesia, yang merupakan bagian utama dari kepulauan Melayu di Asia Tenggara, didominasi oleh sistem-sistem keyakinan yang kompleks serta praktek-prektek yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan setempat (termasuk animisme dan politeisme), agama Hindu maupun agama Budha. Ini terbukti dari lestarinya sistem-sistem ini dalam berbagai tingkatan dan masih bisa disaksikan sekarang di berbagai tempat di negeri ini. Candi Borobudur yang indah di Jawa Tengah menjadi saksi warisan utama dari agama Budha Indonesia, sementara candi Hindu seperti Prambanan juga dapat disaksikan begitu dekat. Di Bali, orang akan dapat menyaksikan banyak candi dan tempat ritual agama Hindu, sedangkan pulau itu sendiri dijuluki sebagai “Pulau Dewata”. Begitu pula di Sumatera, sisa-sisa peninggalan dari kerajaan Budha Sriwijaya yang besar dapat dilihat terutama di Palembang dan Jambi. Beberapa di antara sisa-sisa peninggalan ini telah dipugar meski masih banyak yang rusak serta tidak meninggalkan benda-benda pusaka (artifact) yang berarti.
Kedatangan agama Islam tampaknya tidak berusaha membumi-hanguskan sistem-sistem yang sudah ada, pun sebaliknya tidak menolak sistem-sistem lainnya, seperti agama Kristen. Sehingga secara resmi Republik ini mengakui keberadaan lima agama secara berdampingan, yaitu; Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan[1]. Meski tidak dimasukkan atau diakui secara resmi, eksistensi dan praktek-praktek animisme telah diterima secara ragu-ragu, khususnya budaya yang ditemukan di pedalaman. Hal ini tampak pada sebagian masyarakat Jawa yang masih percaya kepada penyambahan terhadap para roh leluhur, seperti halnya diketemukan di masyarakat Kubu (Suku Anak Dalam) di Jambi dan Dayak di Kalimantan serta kelompok-kelompok etnis di Minahasa, Sulawesi[2].
Setelah mengenal berbagai sistem keyakinan maupun praktek keagamaan, masyartakat Indonesia masa awal masih begitu mudah tergelincir ke dalam sinkretisme agama, yakni mengambil sebagian dari sistem untuk membentuk suatu sistem yang lain. Tidak salah jika orang mengasumsikan kalau masyarakat Indonesia ini, pada umumnya adalah penganut adaptasionis atau kompromistis[3]. Dengan kata lain, bahwa orang akan sulit menemukan pada Indonesia lama seorang yang “murni” Hindu, Budha, atau Muslim, di mana dia dapat menjalankan sepenuhnya versi “asli” dari agama yang ia anut tersebut[4].
Asumsi ini terbukti bila kita mempelajari keberhasilan dan proses Islamisasi  yang damai -minimal untuk beberapa periode- di Indonesia. Para da’i masa awal mampu memperkenalkan Islam dengan mengadopsi sistem-sistem keyakinan yang ada dan memasukkan paham dan cita-cita Islam ke dalam sistem-sistem keyakinan itu sebagaimana yang dipahami oleh para da’i Islam tersebut. Dengan cara seperti ini, maka proses tersebut berjalan dalam kurun waktu yang amat panjang di mana selama itu muncul berbagai kemajuan, berkembangnya banyak aspek serta banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam skala yang besar, Islamisasi di Indonesia bisa dianggap sebagai salah satu episode dari Islamisasi dunia yang telah berlangsung sejak masa-masa awal pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, ekspansi oleh para Sahabat serta munculnya dinasti-dinasti berikutnya, seperti dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Sebagaimana kebanyakan agama lainnya, kontak Indonesia dengan Islam masa awal dimungkinkan berjalan lewat para pedagang yang mengikuti rute perdagangan yang sudah ada sebelumnya. Selama kekuasaan Umar ibn Khattab (634-644 M) wilayah Islam yang disebut sebagai Dar al-Islam telah menguasai sebagian besar dari kerajaan Byzantium (Romawi) dan Persia hingga berkembang ke berbagai penjuru dunia. Dengan begitu dapat dipahami kalau ekspansi Islam itu dapat menyebar ke benua Asia, termasuk Asia Tenggara[5].
Terdapat dua teori besar yang ditawarkan oleh para intelektual yang mengkaji kapan masuknya Islam di Indonesia, yang pertama menyimpulkan bahwa Islam itu diintrodusir pada abad kedua hijrah, atau bersamaan dengan abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi. Teori kedua memberikan kesimpulan pada sekiktar abad ke-13 Masehi. Masing-masing teori agaknya perlu diuji dengan bukti materil yang dipandang penting untuk mengokohkan -atau membuat ragu- eksistensi maupun keterpercayaan (reliability) data sejarah yang disuguhkan[6].
Bukti empiris berbentuk materi (baca; indrawi) dari teori yang pertama memang terbilang langka. Namun demikian, berdasarkan kecenderungan umum dari ekspansi Islam ke berbagai penjuru dunia memungkinkan terjadinya kontak Islam dengan orang Indonesia bertolak dari rute-rute perdagangan dunia yang berfungsi signifikan dalam proses Islamisasi. Sebagaimana diungkap oleh Ahmad Haris, adalah Groeneveldt seorang pengkaji sejarah Islam menunjukkan tahun perhitungan hubungan saudagar-saudagar Arab dengan koleganya di bagian Timur. Menurutnya yang mengacu kepada sumber-sumber catatan dari Cina, orang-orang Arab sudah melakukan hubungan dagang dengan Srilanka (Ceylon) pada abad ke-2 sebelum Masehi, dengan Cina pada abad ke-7 Masehi; dan mereka juga dijumpai di Canton, Cina, pada pertengahan abad ke-8. Catatan lainnya juga menurutnya ditemukan pada Babad Cina yang menyebutkan seorang pemimpin Arab -yang boleh jadi merupakan kepala perkampungan Arab- di Sumatera sebelum tahun 674 M[7].
Dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang muncul dari catatan-catatan ini, sejumlah intelektual telah sampai pada asumsi bahwa tahun 674-lah yang menjadi era pertama hubungan antara para pembawa Islam dan orang Indonesia[8]. Ini agaknya bukan “Islamisasi” dalam arti melibatkan sejumlah besar orang, tetapi merupakan cikal bakal Islamisasi telah ada sejak munculnya orang-orang Islam di wilayah ini dan adanya interaksi mereka dengan masyarakat. Data sejarah ini didukung oleh hasil beberapa seminar tentang kapan masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan beberapa kali dan di berbagai tempat sejak tahun 1963[9].
Adapun teori kedua, Islam datang di Indonesia pada abad ke-12 atau 13, memiliki beragam bukti materi (empiris) sebagai pendukungnya. Yang paling terkenal di antaranya adalah sebuah prasasti berbahasa Arab yang ditemukan di Leran, Gresik, Jawa timur bertanggal 475 H/1082 atau 1102 M. prasati tersebut terukir di atas sebuah batu nisan dari kuburan seorang wanita muslim bertuliskan “Fatimah binti Maimun ibn Hibat Allah”[10].
Bukti galian arkeologi di sekitar kompleks makam berupa mangkuk-mangkuk keramik berasal dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi, serta inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di sisi lain dapat dihubungkan dengan para imigran suku Lor dari Persia yang pada abad ke-10 Masehi berimigrasi ke Jawa dengan mendirikan pemukiman yang bernama Loram atau Leran di Gresik. Itu berarti Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 475 H/1082 M itu dimungkinkan bukan seorang wanita asing melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim awal suku Lor yang tinggal di Leran sejak abad ke-10 M[11]. 
Bukti lainnya adalah sebuah laporan yang diberikan oleh Marco Polo yang mengunjungi Perlak di Sumatera utara pada tahun 1292 di mana ia menemukan banyak “saudagar muslim” yang telah mengubah banyak masyarakat setempat menjadi penganut hukum Islam. Laporan ini meyakinkan banyak intelektual sehingga periode 1292 dianggap sebagi tahap pertama Islam Indonesia. Hal ini diperkuat pula oleh temuan penjelajah dari Maroko, Ibn Battutah (1304-1377) yang mela;porkan bahwa pada tahun 1345/1346 raja Samudera Pasai telah menjadi seorang muslim[12]. Ditambah lagi dengan adanya makam Mawlana Malik Ibrahim -yang merupakan cikal bakal keturunan para wali penyebar Islam di Jawa yang terkenal dengan sebutan Wali Songo- di Gresik dengan catatan tahun wafatnya pada 1419 M[13].
 Meski kedua teori masuknya Islam di Indonesia tersebut berbeda, sebenarnya dapat disatukan. Meminjam teori ushul fikih yang menyebutkan bahwa jika ada dua dalil yang bertentangan namun masih dapat disatukan maka yang harus dicari ialah titik temu dari keduanya (al-jami’). Oleh karenanya, menurut hemat penulis, beberapa versi di atas dapat disatukan dengan melalui tiga pendekatan. Pertama, seperti yang disetujui oleh benyak intelektual Indonesia, orangh harus membedakan antara hubungan awal yang sebenarnya dengan Islam di Indonesia yang mewakili teori pertama, dan perkembangan penting berikutnya dari agama Islam di Indonesia sebagaimana dibuktikan oleh kemunculan beberapa kerajaan Islam yang diwakili oleh teori kedua. Kedua, sebagaimana telah dinyatakan oleh Groeneveltdt serta lainnya bahwa kontak awal itu amat jelas manakala menggujnakan penilaian deduktif, dengan bersandarkan pada dasar-dasar historis yang lebih dapat dibuktikan mengenai hubungan Arab-Cina kuno. Perkembangan berikutnya lebih jelas dengan adanya tulisan-tulisan dan laporan asing sebelumnya. Terakhir, ketiga, sebagaimana ditunjukkan oleh Hasymy, kitab-kitab dan tarikh-tarikh setempat bisa -atau malah seharusnya- dipertimbangkan. Dengan kata lain, bukanlah tindakan yang tepat bila mengabaikan sejarah semacam itu hanya lantaran tidak memiliki bukti yang tercatat ataupun bukti materi, apalagi bila ketiadaan sumber itu lantaran ketidak-pedulian seseorang terhadap sumber-sumber yang ternyata telah dikenal oleh orang lain.
Dengan demikian, sebagaimana Hasymy menyimpulkan, proses Islamisasi di Indonesia mengalami tiga perkembangan, (1) kontak-kontak paling awal yang bermula dari tahun 674 m; (2) mendapat kedudukan yang kuat di daerah-daerah kepulauan sejak tahun 878 M; dan (3) meraih kekuatan politik yang berakibat pada konversi besar-besaran yang berlangsung dari tahun 1204 dan seterusnya[14]. Berdasarkan data-data sejarah masuknya Islam di Indonesia ini maka dapat dimungkinkan bahwa tanah Jawa telah melalui ketiga proses Islamisasi yang sangat panjang ini dan mengalami puncak kejayaannya pada era dakwah Wali Songo yang dipelopori oleh Sunan Ampel yang berhasil mendirikan pemerintahan Islam pertama di pulau Jawa, yakni Kesultanan Demak Bintoro[15].


[1] Pengakuan resmi negara terhadap kelima agama ini di Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah melalui Departemen Agama pada tahun 1955.
[2] Ahmad Haris, Islam Inovatif; Eksposisi Bid’ah Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), cet. Pertama, h.22
[3] Lihat misalnya, H. Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-1, h. 358.
[4] Ahmad Haris, Ibid.
[5] Ahmad Haris, Ibid. h.23
[6] Kedua teori ini merupakan dua versi besar yang diyakini oleh para sejarawan sebagai fakta sejarah masuknya Islam di Indonesia. Perbedaan keduanya menurut hemat penulis disebabkan oleh sudut pandang mengenai Islamisasi yang dilakukan oleh individual dan Islamisasi yang terorganisir serta dalam skala yang lebih luas serta pada wilayah yang berbeda. Hal ini terlihat dari para tokoh da’i yang membawanya, di mana pengaruh gerakan mereka berdampak pada sekitar wilayah dakwahnya.
[7] Ahmad Haris, Op.Cit., h.24
[8] Ibid.
[9]Seminar yang pertama diadakan di Medan pada tahun 1963, lalu disusul seminar di Padanng pada tahun 1969, Aceh (a978 dan 1980), Jakarta (1982), dan Palembang (1984). Bahkan Hasymy, salah seorang tokoh penting dalam seminar ini menggunakan tiga sumber, dua di antaranya aganya kurang dipakai oleh kebanyakan sejarawan Barat atau lainnya, yakni Kitab Izhar al-Haqq karya abu Ishaq Mekrani al-Fashi (w. tidak diketahui), Kitab Tazkirat Tabaqat Jumu’ Sulthan al-Salatin oleh Syeikh Syamsul Bahri Abdullah al-Ashi (w. tidak diketahui), dan yang terkenal Silsilah raja-raja Perlak dan Pasai dengan catatan ringkas oleh Sayyid Abdullah bin Sayyid Habib Saifuddin (w. tidak diketahui). Dari sumber-sumber yang tidak biasa ini, Hasymy menginformasikan kepada kita bahwa pada tahun 173 H/789 M sebuah kapal dagang dating dari Cambai, di Gujarat dan dipenuhi oleh para da’I Islam yang dipimpin oleh seorang Arab bernama Nahkoda Khalifah (w. tidak diketahui) tiba di pelabuhan Perlak. Perlak dinyatakan sebagai sebuah kerajaan Islam pada tahun 225 H/840 M dengan raja pertamanya Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah (840-864). Ibid. h. 25
[10] Ibid. h.26. Lihat juga; Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, (Jakarta; Trans Pustaka, 2011), cet. Ke-1, h. 37.
[11] Agus Sunyoto, Ibid. h. 40
[12] Ahmad Haris, Ibid. h. 26
[13] H.J. De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama Di Jawa; Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terjemahan dari judul asli De Eestre Moslemse Vorstendommen op Java; Studien Over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de Eeuw, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 2003), cet. Ke-5, h. 22
[14] Ibid. h. 27
[15] Agus Sunyoto, Op. Cit. h. 102

DAKWAH DAN KARAKTERISTIKNYA



DAKWAH DAN KARAKTERISTIKNYA
Oleh: Syukron Ma'mun Aro, MA.

Dakwah menurut istilah (terminologi) sebagaimana disimpulkan oleh para pakar dakwah, ialah meliputi pengertian yang bersifat pembinaan dan pengembangan yakni upaya mengajak umat manusia ke jalan Allah Swt., memperbaiki situasi untuk lebih baik demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.[1] Di samping itu ada juga istilah-istilah yang mengandung dakwah, yakni tadzkirah atau indzar (memberi peringatan), nasihat, wasiat atau taushiyah, mau'izhah, tabligh, tabyin, dan amar ma'ruf nahi munkar. Paradigma tentang dakwah, adalah hal yang juga sangat penting dalam dakwah. Paradigma menunjuk pada konsep atau bagan pemikiran, cara pandang, pola pikir, asumsi-asumsi, atau kacamata yang harus dipakai oleh para da’i dalam melakukan dakwah. Semua makna itu tercakup dalam terminology paradigma.[2] Maka, tanpa paradigma, seorang tidak mungkin dapat berdakwah. Selain itu, para aktivis dakwah juga harus menyadari pentingnya mengetahui karakteristik yang dimiliki oleh dakwah.

Dakwah, sebagai sarana atau media pembumian nilai-nilai Islam, sebagaimana diuraikan oleh banyak pakar dakwah, mengambil bentuk dalam tiga karakteristik. Pertama, rabbaniyah (ketauhidan). Kedua, syumuliyah (komperehenship). Ketiga, alamiyah (universal)[3]. Rabbaniyah, sejatinya diderivasi langsung dari prinsip monoteisme yang sering disinggung dalam banyak bagian kitab suci al-Qur’an. Demikian, karena pada hakikatnya – meminjam bahasa Ilyas Ismail dan Prio Hotman – dakwah merupakan “perpanjangan tangan” dari ajaran Islam[4]. Dengan kata lain, dakwah merupakan instrumen bagaimana konsep Islam yang masih berupa ide dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit-empirik pada tatanan kehidupan masyarakat praktis. Untuk itu, dakwah mestilah berkarakteristik serupa dengan Islam sebagai paradigmanya. Dalam hal ini, monoteisme (tauhid) sebagai pondasi dari Islam juga menjadi pondasi dari dakwah itu sendiri.

Tauhid sebagai pondasi dakwah pada intinya menghendaki agar manusia sebagai objeknya kembali kepada kepribadian sejati yang masih murni (fitrah). Ini berarti paradigma dakwah mengasumsikan bahwa manusia secara asal-usul adalah berkepribadian tauhid. Ini misalnya, dapat dilihat dari pernyataan kitab suci al-Qur’an sebagai berikut;


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A’raf: 172)



Sebagai asal-usul kepribadian manusia, tauhid dalam paradigma dakwah dengan demikian menjadi orientasi atau basis segala bentuk tindakan dan kebijakan-kebijakan dakwah. Ini bisa dimaknai bahwa poros setiap kegiatan dan tindakan dakwah dipastikan berujung pada usaha mentauhidkan manusia. Mentauhidkan manusia, dalam pandangan dakwah berarti memanusiawikan manusia itu sendiri sesuai dengan kepribadian asalnya, fitrahnya. Kepribadian yang menyimpang dari fitrah berarti menyimpang dari kemanusiawian manusia (the humanisties of humankind). Bagi dakwah yang bertujuan merealisasikan watak ke”rahmatan lil ‘alamin”an Islam, penyimpangan watak dasar manuisia dari fitrahnya adalah sebuah problem besar yang perlu ditindaklanjuti[5].

Menurut Ismail al-Faruqi, persoalan-persoalan kemanusiaan yang timbul sejatinya bertolak dari persoalan kemonoteisan ini. Penyimpangan dari monoteisme, sebagaimana diungkap juga oleh cendikiawan Nurkholis Majid, menyebabkan timbulnya kesewenang-wenangan dan kezaliman dalam bidang politik, ketidak-adilan dalam bidang hukum, kecurangan bisnis dalam bidang ekonomi, dan kebiadaban dalam bidang sosial. Dakwah dengan karakteristik tauhidnya, dengan demikian berusaha melalui berbagai upaya mengentaskan persoalan kemanusian seperti di atas dengan pertama-tama mencabut akar persoalannya, yakni ketidaktauhidan – kemusyrikan[6].

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa karakteristik dakwah berangkat dari  karakteristik Islam  itu sendiri. Selain mendasarkan  kepada tauhid, Islam sebagai sebuah konsep Ilahiah yang bermaksud menuntun  kehidupan  manusia sesuai dengan kehendak Tuhan, juga memiliki karakteristik serba meliputi (syumuliyah/comprehensive). Maksudnya, karakteristik Islam dan kemudian karakteristik dakwah berorientasi bagaimana caranya menderivasikan konsep ilahiah tersebut dalam semua aspek kehidupan. Dengan kata lain, Islam dan kemudian dakwah berkarakteristik ekses di setiap segi kehidupan tersebut. Ini bukan bermakna bahwa Islam telah menyediakan sebuah cetak biru (blue print) sebagai pedoman praktis bagi manusia dalam menjalani kehidupannya sebagaimana diasumsikan oleh sebagian kalangan muslim literal belakangan ini. Karakteristik syumuliyah dalam dakwah lebih layak dimaknai sebagai penetrasi nilai-nilai moral atau – meminjam bahasa yurisprudensi Islam – maqashid al-syari’ah terhadap penentuan kebijakan atau pembuatan aturan hidup bermasyarakat[7].

            Hal tersebut sangat jelas terlihat bila kita kaitkan dengan konsep dakwah Wali Songo yang dengan metode komprominya itu tidak bermaksud menerapkan ajaran Islam Arab ansich dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Melainkan lebih bagaimana caranya agar pesan-pesan moral Islam atau tujuan syari’at Islam bisa masuk dan melebur dalam budaya masyarakat, walaupun secara zhahir terlihat kontras dengan Islam asalnya di Timur Tengah. Kendatipun demikian bukan berarti bahwa ajaran Islam tidak berhasil disosialisasikan terhadap masyarakat Indonesia secara menyeluruh, tapi bermakna yang lebih kepada esensial ajaran Islam. Setiap budaya yang melekat pada pelbagai aspek kehidupan masyarakat nusantara dan telah mengadopsi prinsip-prinsip moral atau tujuan syari’at Islam berarti telah mengalami proses dakwah. Artinya, karakteristik dakwah syumuliyah memiliki intens untuk masuk ke segala sendi kehidupan masyarakat secara esensial, bukan literal dan parsial[8].

              ‘Alamiiyah (universalisme) sebagai karakteristik dakwah bermakna bahwa dakwah itu memiliki cakupan luas yang tidak terbatasi oleh baik waktu maupun teritorial. Karakteristik ini sejatinya lahir dari watak dasar universalisme Islam itu sendiri dalam banyak teks-teks kitab suci maupun hadis dijelaskan bahwa tujuan kehadiran Nabi Muhammad Saw. dan ajaran Islamnya tidak ditujukan hanya untuk ras manusia tertentu saja, dalam hal ini Arab. Dalam hal ini al-Qur’an menegaskan;



 

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)



Dalam hadis misalnya Nabi Muhammad Saw. menjelaskan bahwa ia diutus tidak terbatas kepada ras tertentu. Beliau bersabda;

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي وَلَا أَقُولُهُ فَخْرًا بُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ فَلَيْسَ مِنْ أَحْمَرَ وَلَا أَسْوَدَ يَدْخُلُ فِي أُمَّتِي إِلَّا كَانَ مِنْهُمْ (رواه أحمد)



“Aku telah dikaruniai lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun (Nabi) sebelum aku, dan aku tidak mengatakan hal ini sebagai kesombongan. Aku diutus ke setiap manusia baik yang berkulit hitam maupun merah, maka tidaklah dari ras kulit merah dan ras hitam yang (memeluk Islam) masuk ke dalam golongan umatku keculai dia memang termasuk dari mereka (umatku)….” (HR. Ahmad)[9]



Dengan karakteristik Islam seperti ini maka dakwah juga memiliki karakteristik yang universal. Sampai sini, maka timbul persoalan baru yaitu keragaman konteks sosial budaya masyarakat sebagai sasaran dakwah dan tunggalnya prinsip-prinsip dakwah. Tugas da’i dalam hal ini bagaimana caranya menyelaraskan prinsip dakwah yang tungal itu dalam konteks sosial budaya yang beraneka ragam. Wali Songo lebih cenderung mengambil jalan kompromistis dan adaptasionis terhadap konteks sosial budaya dan lebih sedikit mengambil bentuk-bentuk formal dalam mensosialisasikan nilai-nilai Islam.

Ketiga karakteristik dakwah di atas sekalipun tunggal dan disepakati, namun pada praktiknya mengambil bentuk yang beraneka ragam, di antaranya ada yang menafsirkan ketauhidan sebagai karakteristik ekslusif agama Islam. Di sisi lain, sebagian pakar menganggap tauhid bukan cuma karakteristik khusus dakwah Islam tetapi juga cirri khas yang terdapat dalam dakwah agama-agama lain seperti misalnya diungkap oleh dua tokoh modern Sayyid Rasyid Ridha, pengarang tafsir al-Manar, dan ulama Nusantara kenamaan dari Padang Panjang, Abdul Hamid Hakim. Kedua persfektif ini nantinya secara metodologis mengambil jalan yang berbeda. Jika kelompok pertama, dengan persfektif tauhidnya yang ekslusif, sangat antusias mengkonversi non muslim menjadi muslim dalam dakwahnya, maka kelompok yang kedua lebih memilih jalur dialog nilai-nilai universal yang Islami dalam dakwah dibanding mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya[10]. Adapun jika ada orang yang tertarik untuk pindah memeluk agama Islam, itu berlangsung secara alami dan penuh kesadaran. Nah, dalam hal ini dakwah Wali Songo (baca; Sunan Ampel) lebih dekat kepada yang kedua dibanding yang pertama.

            Sebagaimana karakteristik dakwah yang pertama, karakteristik dakwah yang kedua dan ketiga juga ditafsirkan secara berbeda-beda. Ada kelompok yang menafsirkan syumuliyah sebagai Islam manhaj hayah. Kata mereka, Islam adalah cetak biru yang mencakup semua aturan hidup dari urusan tetek bengek sampai urusan yang paling rumit seperti urusan Negara. Dakwah dalam hal ini berarti bertujuan untuk mengusahakan bagaimana caranya cetak biru itu dipakai sebagai kebijakan  publik. Sementara kelompok yang lain, seperti yang telah dijelaskan di atas lebih mengartikan syumuliyah sebagai penetrasi nilai-nilai moral Islam. Kelompok Wali Songo termasuk kepada yang kedua, bukan yang pertama. Sedangkan ‘alamiyah ditafsirkan sama, yakni sasaran dakwah adalah semua manusia tanpa terkecuali. Bedanya, sementara kelompok yang menafsirkan rabbaniyah secara ekslusif memperlakukan sasaran dakwah sebagai sasaran konversi, kelompok yang menafsirkan rabbaniyah secara inklusif memperlakukan sasaran dakwah sebagai sasaran dialog, bukan sasaran konversi. Dan di sinilah letaknya paradigma dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo[11].

Dengan demikian karakteristik dakwah dalam pandangan Wali Songo dicirikan dengan tiga hal berikut; yaiti, monoteisme inklusif, nilai-nilai moral Islam  dan sasaran dakwah sebagai sasaran dialog. Inilah yang dinamakan aliran dakwah kultural dalam konteks pembicaraan aliran pemikiran dan gerakan-gerakan dakwah yang akan dibicarakan dalam sub judul selanjutnya.



 Madzhab-madzhab Dakwah
Bagian ini lebih jauh akan membicarakan aliran-aliran pemikiran dan gerakan dakwah sebagai bagian integral dari pembahasan sejarah dakwah secara umum. Karena bagaimanapun juga, sebuah kajian kesejarahan tidak mungkin dilepaskan dari pembicaraan tentang disparitas pemikiran sebagai konsekuensi logis dari tindakan reflektif-historis. Hal pertama yang mesti menjadi catatan bersama sebelum melangkah kepada pembicaraan yang lebih serius, bahwa keluasan bidang garapan dakwah[12], merupakan faktor dominan yang ditengarai melatarbelakangi keragaman mazhab dan gerakan  dakwah dalam Islam disamping adanya pengaruh teologis dari sang  pelaku dakwah. Karena bagaimanapun juga, dakwah sebagai seruan ke jalan Allah Swt., berkepentingan untuk mengajak orang melalui aspek pendekatan yang beragam. Dakwah berkepentingan untuk menyeru manusia ke jalan Allah Swt. melalui penyampaian agama dengan ceramah-ceramah (tablîgh) dan pendidikan (ta'lîm), seperti juga dakwah berkepentingan untuk menyeru dengan sistem gerakan yang terkoordinir dan terorganisir (bi al takhtît wa al tanzîm). Wewenang dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Swt. juga berperan dalam mengakomodir kearifan-kearifan lokal dalam kerangka sistem moral Islam (akulturasi) atau malah menginspirasi dalam pembentukan kearifan tradisi baru yang diterima oleh tradisi setempat (kulturisasi).
Adapun peran pemahaman keagamaan (teologi) terhadap disparitas pemikiran atau manhaj dan gerakan dakwah ini terejewantah dalam format kecenderungan berfikir dan sikap kegamaan[13]. Kelompok Islam yang secara teologis cenderung kepada bentuk-bentuk formal agama dan agak ketat dalam memahami orisinalitas agama misalnya, dalam praktiknya lebih mengarah kepada pemikiran dan gerakan dakwah yang masif dan semiotis (simbolik). Warna dakwah ini secara kontras tentunya akan berbeda dengan sistem teologis Islam yang substansialis dan kultural. Secara praktikal pengejawantahannya dalam pemikiran dan gerakan dakwah ada dalam bentuk-bentuk dakwah non masive, tapi lebih mengarah kepada dialog budaya, intelektual dan dakwah peradaban. Semua bentuk-bentuk manhaj dan gerakan dakwah itu tidak akan dibahas di sini, namun demikian, ketiga bentuk manhaj dakwah berikut ini dianggap telah mewakili keragaman pemikiran dan gerakan dakwah: pertama, dakwah paradigma tabligh, kedua, dakwah paradigma harakah, dan ketiga, dakwah paradigma kultural.


[1] Lihat A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 136. Lihat juga; Ali Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidin Ila Thuruq al-Wa'zhi Wal Khithabah, (Mesir: Dar al-I'tisham, 1979), cet. Ke-9, h. 20. Bandingkan, Muhamad Abu al-Fath al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila 'Ilm ad-Da'wah, (Beirut-Libanon: Mu'assasah ar-Risalah, 1995), cet. ke-3, h. 31. Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 21.
[2]  Peter Salim dan  Jenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English, 1999), Cet. Ke-1, h. 1095.  Lihat juga  A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah, op.cit, h. 11

[3] Lihat; Abdullah Nasih Ulwan, Silsilah Madrasah al- Du’at, (Kairo: Dar al- Hadits, 2004), cet. Ke-1, vol. 1, h.16.
[4] A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2011) cet. Ke-1, h. 59.
[5] Lihat; Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tauhid: Its Implication for Thougt and Life, (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1992), cet. Ke-2, h. 17-18.  
[6] Ibid.
[7] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-1, h. 63.
[8] Mengutip Nurkholis Majid, A. Ilyas Ismail & Prio Hotman menjelaskan bahwa pendekatan dialog budaya dalam dakwah kultural menafikan tindakan disruptive dalam menyampaikan  dakwah, yakni memotong masyarakat dari masa lampaunya semata. Lebih dari itu, dakwah turut melestarikan apa yang baik dan benar  dari masa lampau dalam konteks ajaran universal Islam. Lihat A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, op. cit. h. 250
[9] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mawqi al-Islam), vol. 5. h. 176, hadis no. 2144
[10] Abdul Moqshit Ghazali, Argumntasi Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), h. 275-277
[11] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Wali Songo, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-2, h. 91
[12] Wilayah objek dakwah memang amat luas, terdiri dari mterial dan formal. Objek dakwah material meliputi perilaku keberagaman dalam berislam, sementara objek formal berupa perilaku umat muslim dalam teknik menyampaikan dakwah, berupa tablîgh (penyampaian materi dakwah), irsyâd (bimbingan konseling dakwah), tadbîr (manajemen dakwah)  dan tatwîr (pengembangan/akselersi dakwah). Lihat Aep Kusnawan, et.all., Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjuan Dakwah Dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Hingga Paradigma Pengembangan Professionalisme, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h. 113.
[13] Teologi yang berpusat pada persoalan doktrin, ditengarai sebagai faktor dominan yang mempengaruhi sikap keberagamaab seseorang atau kelompok. Dalam studi-studi keagamaan, disparitas pemikiran dan sikap keberagamaan yang lahir dari satu keyakinan agama tertentu biasanya dianalisa dengan pendekatan teologis. Terkait dengan disparitas pemikiran dan gerakan dalam mazhab dakwah, dpat juga ditelaah melalui analisa teologis. Lihat Peter Conolli ed., Aproaches to The Studyof Religion, alih bahasa Iman Khoiri, (Jogjakarta: LKIS, 2009), h. 320.