Translate

Kamis, 16 Mei 2013

MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA




MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Oleh; Syukron Ma'mun Aro, MA.
Uraian ini diarahkan untuk memberikan gambaran umum historis yang menunjang fokus utama kajian ini, yang bertujuan untuk melihat kompleksitas versi tentang kebenaran adanya sosok da’i yang sangat berpengaruh di negeri Nusantara ini, Sunan Ampel. Karena tujuan inilah, penulis akan membahas proses Islamisasi di tanah Jawa sebagai pencarian akar historis sosok Sunan Ampel dengan merunut fakta sejarahnya yang banyak disinyalir oleh sebagian kalangan sebagai legenda dan dongeng belaka. Demikian ini agar kebenaran fakta sejarah Sunan Ampel tidak terdistorsi oleh cerita-cerita legenda rakyat Nusantara.
Sebelum kedatangan Islam di negeri ini, Indonesia, yang merupakan bagian utama dari kepulauan Melayu di Asia Tenggara, didominasi oleh sistem-sistem keyakinan yang kompleks serta praktek-prektek yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan setempat (termasuk animisme dan politeisme), agama Hindu maupun agama Budha. Ini terbukti dari lestarinya sistem-sistem ini dalam berbagai tingkatan dan masih bisa disaksikan sekarang di berbagai tempat di negeri ini. Candi Borobudur yang indah di Jawa Tengah menjadi saksi warisan utama dari agama Budha Indonesia, sementara candi Hindu seperti Prambanan juga dapat disaksikan begitu dekat. Di Bali, orang akan dapat menyaksikan banyak candi dan tempat ritual agama Hindu, sedangkan pulau itu sendiri dijuluki sebagai “Pulau Dewata”. Begitu pula di Sumatera, sisa-sisa peninggalan dari kerajaan Budha Sriwijaya yang besar dapat dilihat terutama di Palembang dan Jambi. Beberapa di antara sisa-sisa peninggalan ini telah dipugar meski masih banyak yang rusak serta tidak meninggalkan benda-benda pusaka (artifact) yang berarti.
Kedatangan agama Islam tampaknya tidak berusaha membumi-hanguskan sistem-sistem yang sudah ada, pun sebaliknya tidak menolak sistem-sistem lainnya, seperti agama Kristen. Sehingga secara resmi Republik ini mengakui keberadaan lima agama secara berdampingan, yaitu; Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan[1]. Meski tidak dimasukkan atau diakui secara resmi, eksistensi dan praktek-praktek animisme telah diterima secara ragu-ragu, khususnya budaya yang ditemukan di pedalaman. Hal ini tampak pada sebagian masyarakat Jawa yang masih percaya kepada penyambahan terhadap para roh leluhur, seperti halnya diketemukan di masyarakat Kubu (Suku Anak Dalam) di Jambi dan Dayak di Kalimantan serta kelompok-kelompok etnis di Minahasa, Sulawesi[2].
Setelah mengenal berbagai sistem keyakinan maupun praktek keagamaan, masyartakat Indonesia masa awal masih begitu mudah tergelincir ke dalam sinkretisme agama, yakni mengambil sebagian dari sistem untuk membentuk suatu sistem yang lain. Tidak salah jika orang mengasumsikan kalau masyarakat Indonesia ini, pada umumnya adalah penganut adaptasionis atau kompromistis[3]. Dengan kata lain, bahwa orang akan sulit menemukan pada Indonesia lama seorang yang “murni” Hindu, Budha, atau Muslim, di mana dia dapat menjalankan sepenuhnya versi “asli” dari agama yang ia anut tersebut[4].
Asumsi ini terbukti bila kita mempelajari keberhasilan dan proses Islamisasi  yang damai -minimal untuk beberapa periode- di Indonesia. Para da’i masa awal mampu memperkenalkan Islam dengan mengadopsi sistem-sistem keyakinan yang ada dan memasukkan paham dan cita-cita Islam ke dalam sistem-sistem keyakinan itu sebagaimana yang dipahami oleh para da’i Islam tersebut. Dengan cara seperti ini, maka proses tersebut berjalan dalam kurun waktu yang amat panjang di mana selama itu muncul berbagai kemajuan, berkembangnya banyak aspek serta banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam skala yang besar, Islamisasi di Indonesia bisa dianggap sebagai salah satu episode dari Islamisasi dunia yang telah berlangsung sejak masa-masa awal pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, ekspansi oleh para Sahabat serta munculnya dinasti-dinasti berikutnya, seperti dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Sebagaimana kebanyakan agama lainnya, kontak Indonesia dengan Islam masa awal dimungkinkan berjalan lewat para pedagang yang mengikuti rute perdagangan yang sudah ada sebelumnya. Selama kekuasaan Umar ibn Khattab (634-644 M) wilayah Islam yang disebut sebagai Dar al-Islam telah menguasai sebagian besar dari kerajaan Byzantium (Romawi) dan Persia hingga berkembang ke berbagai penjuru dunia. Dengan begitu dapat dipahami kalau ekspansi Islam itu dapat menyebar ke benua Asia, termasuk Asia Tenggara[5].
Terdapat dua teori besar yang ditawarkan oleh para intelektual yang mengkaji kapan masuknya Islam di Indonesia, yang pertama menyimpulkan bahwa Islam itu diintrodusir pada abad kedua hijrah, atau bersamaan dengan abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi. Teori kedua memberikan kesimpulan pada sekiktar abad ke-13 Masehi. Masing-masing teori agaknya perlu diuji dengan bukti materil yang dipandang penting untuk mengokohkan -atau membuat ragu- eksistensi maupun keterpercayaan (reliability) data sejarah yang disuguhkan[6].
Bukti empiris berbentuk materi (baca; indrawi) dari teori yang pertama memang terbilang langka. Namun demikian, berdasarkan kecenderungan umum dari ekspansi Islam ke berbagai penjuru dunia memungkinkan terjadinya kontak Islam dengan orang Indonesia bertolak dari rute-rute perdagangan dunia yang berfungsi signifikan dalam proses Islamisasi. Sebagaimana diungkap oleh Ahmad Haris, adalah Groeneveldt seorang pengkaji sejarah Islam menunjukkan tahun perhitungan hubungan saudagar-saudagar Arab dengan koleganya di bagian Timur. Menurutnya yang mengacu kepada sumber-sumber catatan dari Cina, orang-orang Arab sudah melakukan hubungan dagang dengan Srilanka (Ceylon) pada abad ke-2 sebelum Masehi, dengan Cina pada abad ke-7 Masehi; dan mereka juga dijumpai di Canton, Cina, pada pertengahan abad ke-8. Catatan lainnya juga menurutnya ditemukan pada Babad Cina yang menyebutkan seorang pemimpin Arab -yang boleh jadi merupakan kepala perkampungan Arab- di Sumatera sebelum tahun 674 M[7].
Dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang muncul dari catatan-catatan ini, sejumlah intelektual telah sampai pada asumsi bahwa tahun 674-lah yang menjadi era pertama hubungan antara para pembawa Islam dan orang Indonesia[8]. Ini agaknya bukan “Islamisasi” dalam arti melibatkan sejumlah besar orang, tetapi merupakan cikal bakal Islamisasi telah ada sejak munculnya orang-orang Islam di wilayah ini dan adanya interaksi mereka dengan masyarakat. Data sejarah ini didukung oleh hasil beberapa seminar tentang kapan masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan beberapa kali dan di berbagai tempat sejak tahun 1963[9].
Adapun teori kedua, Islam datang di Indonesia pada abad ke-12 atau 13, memiliki beragam bukti materi (empiris) sebagai pendukungnya. Yang paling terkenal di antaranya adalah sebuah prasasti berbahasa Arab yang ditemukan di Leran, Gresik, Jawa timur bertanggal 475 H/1082 atau 1102 M. prasati tersebut terukir di atas sebuah batu nisan dari kuburan seorang wanita muslim bertuliskan “Fatimah binti Maimun ibn Hibat Allah”[10].
Bukti galian arkeologi di sekitar kompleks makam berupa mangkuk-mangkuk keramik berasal dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi, serta inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di sisi lain dapat dihubungkan dengan para imigran suku Lor dari Persia yang pada abad ke-10 Masehi berimigrasi ke Jawa dengan mendirikan pemukiman yang bernama Loram atau Leran di Gresik. Itu berarti Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 475 H/1082 M itu dimungkinkan bukan seorang wanita asing melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim awal suku Lor yang tinggal di Leran sejak abad ke-10 M[11]. 
Bukti lainnya adalah sebuah laporan yang diberikan oleh Marco Polo yang mengunjungi Perlak di Sumatera utara pada tahun 1292 di mana ia menemukan banyak “saudagar muslim” yang telah mengubah banyak masyarakat setempat menjadi penganut hukum Islam. Laporan ini meyakinkan banyak intelektual sehingga periode 1292 dianggap sebagi tahap pertama Islam Indonesia. Hal ini diperkuat pula oleh temuan penjelajah dari Maroko, Ibn Battutah (1304-1377) yang mela;porkan bahwa pada tahun 1345/1346 raja Samudera Pasai telah menjadi seorang muslim[12]. Ditambah lagi dengan adanya makam Mawlana Malik Ibrahim -yang merupakan cikal bakal keturunan para wali penyebar Islam di Jawa yang terkenal dengan sebutan Wali Songo- di Gresik dengan catatan tahun wafatnya pada 1419 M[13].
 Meski kedua teori masuknya Islam di Indonesia tersebut berbeda, sebenarnya dapat disatukan. Meminjam teori ushul fikih yang menyebutkan bahwa jika ada dua dalil yang bertentangan namun masih dapat disatukan maka yang harus dicari ialah titik temu dari keduanya (al-jami’). Oleh karenanya, menurut hemat penulis, beberapa versi di atas dapat disatukan dengan melalui tiga pendekatan. Pertama, seperti yang disetujui oleh benyak intelektual Indonesia, orangh harus membedakan antara hubungan awal yang sebenarnya dengan Islam di Indonesia yang mewakili teori pertama, dan perkembangan penting berikutnya dari agama Islam di Indonesia sebagaimana dibuktikan oleh kemunculan beberapa kerajaan Islam yang diwakili oleh teori kedua. Kedua, sebagaimana telah dinyatakan oleh Groeneveltdt serta lainnya bahwa kontak awal itu amat jelas manakala menggujnakan penilaian deduktif, dengan bersandarkan pada dasar-dasar historis yang lebih dapat dibuktikan mengenai hubungan Arab-Cina kuno. Perkembangan berikutnya lebih jelas dengan adanya tulisan-tulisan dan laporan asing sebelumnya. Terakhir, ketiga, sebagaimana ditunjukkan oleh Hasymy, kitab-kitab dan tarikh-tarikh setempat bisa -atau malah seharusnya- dipertimbangkan. Dengan kata lain, bukanlah tindakan yang tepat bila mengabaikan sejarah semacam itu hanya lantaran tidak memiliki bukti yang tercatat ataupun bukti materi, apalagi bila ketiadaan sumber itu lantaran ketidak-pedulian seseorang terhadap sumber-sumber yang ternyata telah dikenal oleh orang lain.
Dengan demikian, sebagaimana Hasymy menyimpulkan, proses Islamisasi di Indonesia mengalami tiga perkembangan, (1) kontak-kontak paling awal yang bermula dari tahun 674 m; (2) mendapat kedudukan yang kuat di daerah-daerah kepulauan sejak tahun 878 M; dan (3) meraih kekuatan politik yang berakibat pada konversi besar-besaran yang berlangsung dari tahun 1204 dan seterusnya[14]. Berdasarkan data-data sejarah masuknya Islam di Indonesia ini maka dapat dimungkinkan bahwa tanah Jawa telah melalui ketiga proses Islamisasi yang sangat panjang ini dan mengalami puncak kejayaannya pada era dakwah Wali Songo yang dipelopori oleh Sunan Ampel yang berhasil mendirikan pemerintahan Islam pertama di pulau Jawa, yakni Kesultanan Demak Bintoro[15].


[1] Pengakuan resmi negara terhadap kelima agama ini di Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah melalui Departemen Agama pada tahun 1955.
[2] Ahmad Haris, Islam Inovatif; Eksposisi Bid’ah Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), cet. Pertama, h.22
[3] Lihat misalnya, H. Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-1, h. 358.
[4] Ahmad Haris, Ibid.
[5] Ahmad Haris, Ibid. h.23
[6] Kedua teori ini merupakan dua versi besar yang diyakini oleh para sejarawan sebagai fakta sejarah masuknya Islam di Indonesia. Perbedaan keduanya menurut hemat penulis disebabkan oleh sudut pandang mengenai Islamisasi yang dilakukan oleh individual dan Islamisasi yang terorganisir serta dalam skala yang lebih luas serta pada wilayah yang berbeda. Hal ini terlihat dari para tokoh da’i yang membawanya, di mana pengaruh gerakan mereka berdampak pada sekitar wilayah dakwahnya.
[7] Ahmad Haris, Op.Cit., h.24
[8] Ibid.
[9]Seminar yang pertama diadakan di Medan pada tahun 1963, lalu disusul seminar di Padanng pada tahun 1969, Aceh (a978 dan 1980), Jakarta (1982), dan Palembang (1984). Bahkan Hasymy, salah seorang tokoh penting dalam seminar ini menggunakan tiga sumber, dua di antaranya aganya kurang dipakai oleh kebanyakan sejarawan Barat atau lainnya, yakni Kitab Izhar al-Haqq karya abu Ishaq Mekrani al-Fashi (w. tidak diketahui), Kitab Tazkirat Tabaqat Jumu’ Sulthan al-Salatin oleh Syeikh Syamsul Bahri Abdullah al-Ashi (w. tidak diketahui), dan yang terkenal Silsilah raja-raja Perlak dan Pasai dengan catatan ringkas oleh Sayyid Abdullah bin Sayyid Habib Saifuddin (w. tidak diketahui). Dari sumber-sumber yang tidak biasa ini, Hasymy menginformasikan kepada kita bahwa pada tahun 173 H/789 M sebuah kapal dagang dating dari Cambai, di Gujarat dan dipenuhi oleh para da’I Islam yang dipimpin oleh seorang Arab bernama Nahkoda Khalifah (w. tidak diketahui) tiba di pelabuhan Perlak. Perlak dinyatakan sebagai sebuah kerajaan Islam pada tahun 225 H/840 M dengan raja pertamanya Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah (840-864). Ibid. h. 25
[10] Ibid. h.26. Lihat juga; Agus Sunyoto, Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, (Jakarta; Trans Pustaka, 2011), cet. Ke-1, h. 37.
[11] Agus Sunyoto, Ibid. h. 40
[12] Ahmad Haris, Ibid. h. 26
[13] H.J. De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama Di Jawa; Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terjemahan dari judul asli De Eestre Moslemse Vorstendommen op Java; Studien Over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de Eeuw, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 2003), cet. Ke-5, h. 22
[14] Ibid. h. 27
[15] Agus Sunyoto, Op. Cit. h. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar