Translate

Selasa, 10 Desember 2013



KAJIAN TEORITIK TENTANG DAKWAH
 Oleh; Syukron Ma'mun Aro, MA.

1. Pengertian Dakwah.
Melalui tinjauan etimologi, kata dakwah berasal dari kata arab Dâ’a – Yadâ’u-Da’watan yang secara umum bermakna menyeru, mengajak, memanggil dan meminta[1]. Dalam keilmuan Islam, kata dakwah lazim dimengerti sebagai ajakan untuk menganut agama Islam[2]. Istilah ini memiliki arti yang berdekatan dengan istilah-istilah seperti tablîgh, al amru bi al ma’rûf wa nahi ‘an al munkar, mau’izah hasanah, tabsyîr, indzâr, wasiyyah, tarbiyyah, ta’lîm dan khutbah[3]. Hal ini mungkin dapat dipahami bahwa dalam istilah-istilah tersebut juga mengandung unsur seruan dan ajakan. Namun demikian, dakwah tidaklah sama dengannya, dakwah memiliki makna yang lebih umum, bahkan semua istilah itu dicakup dalam pengertian dakwah itu sendiri[4].
Sedangkan dari segi terminologi, telah banyak penulis literatur-literatur dakwah yang mengungkapakan definisi dakwah menurut pemahaman dan kecenderungan mereka masing-masing. Pakar dakwah Syekh Ali Mahfuz mengartikan dakwah sebagai “ usaha mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk Allah, menyeru mereka kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dengan tujuan mendapat kebahagiaan didunia dan akhirat”[5]. Sedangkan dakwah bagi M. Quraish shihab adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah satu situasi kepada situasi lain yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat[6]. Sementara itu M. Ali Aziz menjelaskannya dengan sangat ringkas sebagai sisi positif dari ajakan untuk menuju keselamatan dunia dan akhirat[7]. Lain lagi, Achmad Mubarok, lebih memandang dakwah dalam pengertian operasional sebagai usaha untuk mengajak atau mendorong mausia kepada tujuan yang definitif yang rumusuannya bisa diambil dari Al Qur’an dan Hadis, atau dirumuskan oleh sang da’i sesuai dengan ruang lingkup dakwahnya[8].
Pengertian yang diutarakan oleh Ali Mahfuz  lebih cenderung kepada sisi teknis dakwah yaitu amar ma’ruf nahi munkar, sedangkan versi Quraish Shihab lebih kepada atsar atau efek dari dakwah, versi M. Ali Aziz terlihat cenderung kepada tujuan akhir (goal), maka apa yang diutarakan Achmad Mubarok lebih menekankan kepada aspek materi dakwah dan manajemennya.
Dari pengertian-pengertian ini dapat dipahami bahwa dakwah pada dasarnya adalah
Pertama, dakwah adalah sisi positif dari ajakan, karena ajakan itu dilakukan secara tulus dan hanya mengharap keridhaan tuhan[9]. Seperti terbaca dalam Firman Allah berikut

“… Maka ajaklah kepada Allah sebagai yang Ikhlas kepada agamanya walaupun orang-orang kafir membencimu” (QS al Ghofir/40:14).

Kedua, ajakan tersebut berpangkal dari keprihatinan sosial, sehingga seorang da’i sangat berantusias untuk mengubah keadaan masyarakatnya agar menjadi lebih baik keadaanya. Rasulullah adalah bapak para da’i, beliau memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap masyarakatnya agar menerima kebaikan[10]. Hal ini seperti diabadikan dalam Al Qur’an.


“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS al Taubah/9: 128).

Ketiga, ajakan dakwah tidak seperti ajakan yang lain, dakwah adalah sebuah misi suci karena ia bernilai Rabbani[11], bukan terbatas kepada kebaikan sekuler. Lebih dari itu, dakwah juga berorientasi kepada kebaikan akhirat. 

  “Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”. (QS Yunus/10: 20).


Keempat, dakwah secara totalitas mengajak kepada kebajikan universal (al Khair). Sedangkan secara teknis, ajakan itu bermuara kepada dua hal, yaitu mengajak untuk mengerjakan kebaikan yang dikenal (ma’ruf) dan mengajak untuk meninggalkan kemunkaran[12].


“……dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Âli ‘imran/3: 104).

Kelima, ajakan dakwah adalah ajakan yang bersistem dan bermanajemen. Untuk itu seorang da’i mesti tahu apa yang ia kerjakan. Ia harus memiliki pemahaman yang matang dan mendalam (Bashirah) mengenai keadaan obyek dakwah dan ruang lingkupnya, sehingga ia dapat memberi keputusan yang tepat[13].

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(QS Yusuf/12: 108).

Keenam, dakwah merupakan usaha untuk mengaplikasikan ajaran Al Qur’an dan Hadist dalam kehidupan nyata dimasyarakat. Dengan kata lain, sumber dakwah (maudu’ al da’wat) adalah Islam[14], sedangkan sumber ajaran Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dakwah berarti suatu usaha untuk mewujudkan ideologi Al Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan praktis sosial.
Bersambung......


[1] Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisan al ‘Arab, (Beiruth: Dar al Shadir,tt), Cet. Pertama, Juz 14, h. 257.
[2] M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. Pertama, h. 3.
[3] M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Pertama, h. 17.
[4] Ibid.
[5] M. Ali Mahfuz, Hidayat al Mursyidin Ilâ Turûq Wa’zi wa al Khitâbah, (Beiruth: Dar al Ma’rifah, tt), h. 17.

[6] M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2006), Cet. Ke 29, h. 194.
[7] M. Ali Aziz, Op.Cit, h. 4.
[8] Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Pertama, h. vii.
[9] ‘Abdullah Nasih ‘Ulwan, Silsilah Madrasah al Du’at Fusul Hadifah fi Fiqh al Da’wah wa al Da’iyah, (Kairo: Dar al Salam, 2007), Cet. Keempat, Jilid 1,  h. 133.
[10] Baca A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutb, (Jakarta: Penamadani, 2006), Cet. Pertama, h. 317-318.
[11] ‘Abdullah Nasih ‘Ulwan, Op.Cit, h. 24.
[12] M. Ali Aziz, Op.Cit, h. 10.
[13] ‘Aziz bin Farhan al ‘Anzi dan Taqdim Shalih bin ‘Abd al ‘Aziz Ali Syekh, al Bashirah fi al Da’wah ila Allah, (Abu Dabi: Dar Imam Malik, 2005), Cet. Pertama, h. 15.
[14] Abdul Karim Zaidan, Usul al Da’wah, (Beirut: Muassasah al Risalah, 2001), Cet. Kesembilan, h. 7.

TULISAN LAKSANA UCAPAN

TULISAN LAKSANA UCAPAN

Ketika saya buka kembali sebuah kitab Ushul Fiqh, saya jumpai sebuah kaidah;

اَلْكِتَابَةُ تُنْزِلُ مَنْزِلَةَ الْقَوْلِ

Artinya: "Tulisan menduduki posisi perkataan/ucapan".

Oleh karenanya, di dalam transaksi jual beli menurut hukum Islam dapat dilakukan melalui tulisan.

Imam Nawawi berkomentar; "Al Ghazali pernah berkata dalam kitabnya "Bidayah al Hidayah",:

لِأَنَّ الْقَلَمَ أَحَدُ اللِّسَانَيْنِ فَاحْفَظْهُ عَمَّا يَجِبُ حِفْظُ اللِّسَانِ عَنْهُ

Artinya: "Karena pena (termasuk di dalamnya keypad HP, keyboard PC, dll, pen) adlah merupakan salah satu lisan. Maka jagalah ia dari menulis sesuatu yang wajib dihindari untuk diucapkan lisan".

Semoga Allah Swt. selalu menjaga lisan-lisan kita dengan hidayah-Nya dari hal-hal yg tidak diridhoi-Nya. Amin.