"…dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)…." (QS Ali 'Imran/3: 14)
Ibnu Katsir berkata "…melalaui
ayat ini Allah hendak memberitahukan hal-hal yang menjadi hiasan hidup dunia
dari beraneka ragam kenikmatan duniawi di antaranya isteri dan anak-anak.
Isteri disebut pertamakali, karena ia ujian yang amat besar…[1]".
Menurut Syeikh al Sya'rawy, keluarga dan harta adalah ujian yang Allah berikan
kepada manusia, apakah hatinya berpaling dan lebih memintingkan egonya (yumiluhu
ila syaksiyyatih), ataukah lebih mementingkan petunjuk Allah[2].
Menurut Wahbah Zuhayli, manusia diuji oleh Allah dengan di antaranya isteri dan
anak-anak, yang dihiasi oleh syeitan sehingga dapat melalaikan manusia dari
Tuhannya. Manusia dianggap lulus dari ujiannya ini, kata Zuhayli, jika ia dapat
mengembalikan semua itu sesuai dengan kehendak sang empunya, yakni Allah SWT[3]. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah
yang lain,
"Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang
besar" (QS al Ataghabun/64: 14).
Kata al Zuhayli, ujian anak berarti cobaan dengan mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya untuk anak[4].
Adapun yang menjadi sebab kecintaan manusia kepada isteri dan anak-anak adalah
satu, yakni kekekalan jenis manusia, dan kekekalan nama dan gelar serta sebutan[5].
Fitnah yang disebut dalam
firman-Nya, menurut Rasyid Ridla adalah ujian atau cobaan yang membelah jiwa
untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, menerima atau mengingkari sesuatu.
Fitnah isteri dan anak-anak itu, kata Ridla, bisa terjadi dalam bentuk
keyakinan, ucapan dan tindakan yang Allah ujikan kepada setiap manusia, baik
mukmin atau kafir, baik yang benar maupun yang munafik. Melalui ujian itu,
Allah kelak akan menghisab dan membalas mereka menurut kelulusan mereka atas
ujian itu dalam bentuk ketundukkan terhadap kebenaran atau kebatilan, amalan
baik atau buruk[6].
Syaikhul
mufassirin, al Thabari, ketika menafsirkan firman Allah QS al Anfal/9: 28
"…ketahuilah, sesungguhnya hartamu dan anakmu itu menjadi fitnah, dan
sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar…", menjelaskan demikian.
"…wahai orang yang beriman, sesungguhnya harta yang Allah titipkan padamu,
dan anak-anak yang Allah hadiahkan kepadamu, adalah ujian dan cobaan bagimu.
Semua itu Allah berikan kepada kamu sekalian untuk menguji, supaya Allah
melihat amal kamu dalam menunaikan semua hak-hak Allah dan apakah kamu
melaksanakan perintahnya dan meninggalkan sebaliknya…sesungguhnya Allah telah
menyiapkan pahala yang besar bagi sesiapa yang menunjukkan ketaatannya kepada Allah
dengan menunaikan semua amanat yang Ia titipkan kepadanya dari keluarga dan
harta…"[7].
[1] Abu al Fida' al Ismail Ibn Katsir, op.cit, Juz 2, h. 19.
[2] Syeikh Muhammad Mutawali al Sya'rawy, Tafsir al Sya'rawy,
(Mauqi' al Tafasir), h. 406.
[3] Mushtafa Wahbah al Zuhayli, op.cit, juz 3, h. 166.
[4] Ibid.
[5] Ibid, h. 167.
[6] Rasyid Ridla, Tafsir al Manar, op.cit, juz 9, h. 536.
[7] Muhammad Ibn Jarir al Thabary, op.cit, Juz 13, h. 486.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar