Translate

Kamis, 16 Mei 2013

DAKWAH DAN KARAKTERISTIKNYA



DAKWAH DAN KARAKTERISTIKNYA
Oleh: Syukron Ma'mun Aro, MA.

Dakwah menurut istilah (terminologi) sebagaimana disimpulkan oleh para pakar dakwah, ialah meliputi pengertian yang bersifat pembinaan dan pengembangan yakni upaya mengajak umat manusia ke jalan Allah Swt., memperbaiki situasi untuk lebih baik demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.[1] Di samping itu ada juga istilah-istilah yang mengandung dakwah, yakni tadzkirah atau indzar (memberi peringatan), nasihat, wasiat atau taushiyah, mau'izhah, tabligh, tabyin, dan amar ma'ruf nahi munkar. Paradigma tentang dakwah, adalah hal yang juga sangat penting dalam dakwah. Paradigma menunjuk pada konsep atau bagan pemikiran, cara pandang, pola pikir, asumsi-asumsi, atau kacamata yang harus dipakai oleh para da’i dalam melakukan dakwah. Semua makna itu tercakup dalam terminology paradigma.[2] Maka, tanpa paradigma, seorang tidak mungkin dapat berdakwah. Selain itu, para aktivis dakwah juga harus menyadari pentingnya mengetahui karakteristik yang dimiliki oleh dakwah.

Dakwah, sebagai sarana atau media pembumian nilai-nilai Islam, sebagaimana diuraikan oleh banyak pakar dakwah, mengambil bentuk dalam tiga karakteristik. Pertama, rabbaniyah (ketauhidan). Kedua, syumuliyah (komperehenship). Ketiga, alamiyah (universal)[3]. Rabbaniyah, sejatinya diderivasi langsung dari prinsip monoteisme yang sering disinggung dalam banyak bagian kitab suci al-Qur’an. Demikian, karena pada hakikatnya – meminjam bahasa Ilyas Ismail dan Prio Hotman – dakwah merupakan “perpanjangan tangan” dari ajaran Islam[4]. Dengan kata lain, dakwah merupakan instrumen bagaimana konsep Islam yang masih berupa ide dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit-empirik pada tatanan kehidupan masyarakat praktis. Untuk itu, dakwah mestilah berkarakteristik serupa dengan Islam sebagai paradigmanya. Dalam hal ini, monoteisme (tauhid) sebagai pondasi dari Islam juga menjadi pondasi dari dakwah itu sendiri.

Tauhid sebagai pondasi dakwah pada intinya menghendaki agar manusia sebagai objeknya kembali kepada kepribadian sejati yang masih murni (fitrah). Ini berarti paradigma dakwah mengasumsikan bahwa manusia secara asal-usul adalah berkepribadian tauhid. Ini misalnya, dapat dilihat dari pernyataan kitab suci al-Qur’an sebagai berikut;


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A’raf: 172)



Sebagai asal-usul kepribadian manusia, tauhid dalam paradigma dakwah dengan demikian menjadi orientasi atau basis segala bentuk tindakan dan kebijakan-kebijakan dakwah. Ini bisa dimaknai bahwa poros setiap kegiatan dan tindakan dakwah dipastikan berujung pada usaha mentauhidkan manusia. Mentauhidkan manusia, dalam pandangan dakwah berarti memanusiawikan manusia itu sendiri sesuai dengan kepribadian asalnya, fitrahnya. Kepribadian yang menyimpang dari fitrah berarti menyimpang dari kemanusiawian manusia (the humanisties of humankind). Bagi dakwah yang bertujuan merealisasikan watak ke”rahmatan lil ‘alamin”an Islam, penyimpangan watak dasar manuisia dari fitrahnya adalah sebuah problem besar yang perlu ditindaklanjuti[5].

Menurut Ismail al-Faruqi, persoalan-persoalan kemanusiaan yang timbul sejatinya bertolak dari persoalan kemonoteisan ini. Penyimpangan dari monoteisme, sebagaimana diungkap juga oleh cendikiawan Nurkholis Majid, menyebabkan timbulnya kesewenang-wenangan dan kezaliman dalam bidang politik, ketidak-adilan dalam bidang hukum, kecurangan bisnis dalam bidang ekonomi, dan kebiadaban dalam bidang sosial. Dakwah dengan karakteristik tauhidnya, dengan demikian berusaha melalui berbagai upaya mengentaskan persoalan kemanusian seperti di atas dengan pertama-tama mencabut akar persoalannya, yakni ketidaktauhidan – kemusyrikan[6].

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa karakteristik dakwah berangkat dari  karakteristik Islam  itu sendiri. Selain mendasarkan  kepada tauhid, Islam sebagai sebuah konsep Ilahiah yang bermaksud menuntun  kehidupan  manusia sesuai dengan kehendak Tuhan, juga memiliki karakteristik serba meliputi (syumuliyah/comprehensive). Maksudnya, karakteristik Islam dan kemudian karakteristik dakwah berorientasi bagaimana caranya menderivasikan konsep ilahiah tersebut dalam semua aspek kehidupan. Dengan kata lain, Islam dan kemudian dakwah berkarakteristik ekses di setiap segi kehidupan tersebut. Ini bukan bermakna bahwa Islam telah menyediakan sebuah cetak biru (blue print) sebagai pedoman praktis bagi manusia dalam menjalani kehidupannya sebagaimana diasumsikan oleh sebagian kalangan muslim literal belakangan ini. Karakteristik syumuliyah dalam dakwah lebih layak dimaknai sebagai penetrasi nilai-nilai moral atau – meminjam bahasa yurisprudensi Islam – maqashid al-syari’ah terhadap penentuan kebijakan atau pembuatan aturan hidup bermasyarakat[7].

            Hal tersebut sangat jelas terlihat bila kita kaitkan dengan konsep dakwah Wali Songo yang dengan metode komprominya itu tidak bermaksud menerapkan ajaran Islam Arab ansich dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Melainkan lebih bagaimana caranya agar pesan-pesan moral Islam atau tujuan syari’at Islam bisa masuk dan melebur dalam budaya masyarakat, walaupun secara zhahir terlihat kontras dengan Islam asalnya di Timur Tengah. Kendatipun demikian bukan berarti bahwa ajaran Islam tidak berhasil disosialisasikan terhadap masyarakat Indonesia secara menyeluruh, tapi bermakna yang lebih kepada esensial ajaran Islam. Setiap budaya yang melekat pada pelbagai aspek kehidupan masyarakat nusantara dan telah mengadopsi prinsip-prinsip moral atau tujuan syari’at Islam berarti telah mengalami proses dakwah. Artinya, karakteristik dakwah syumuliyah memiliki intens untuk masuk ke segala sendi kehidupan masyarakat secara esensial, bukan literal dan parsial[8].

              ‘Alamiiyah (universalisme) sebagai karakteristik dakwah bermakna bahwa dakwah itu memiliki cakupan luas yang tidak terbatasi oleh baik waktu maupun teritorial. Karakteristik ini sejatinya lahir dari watak dasar universalisme Islam itu sendiri dalam banyak teks-teks kitab suci maupun hadis dijelaskan bahwa tujuan kehadiran Nabi Muhammad Saw. dan ajaran Islamnya tidak ditujukan hanya untuk ras manusia tertentu saja, dalam hal ini Arab. Dalam hal ini al-Qur’an menegaskan;



 

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)



Dalam hadis misalnya Nabi Muhammad Saw. menjelaskan bahwa ia diutus tidak terbatas kepada ras tertentu. Beliau bersabda;

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي وَلَا أَقُولُهُ فَخْرًا بُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ فَلَيْسَ مِنْ أَحْمَرَ وَلَا أَسْوَدَ يَدْخُلُ فِي أُمَّتِي إِلَّا كَانَ مِنْهُمْ (رواه أحمد)



“Aku telah dikaruniai lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun (Nabi) sebelum aku, dan aku tidak mengatakan hal ini sebagai kesombongan. Aku diutus ke setiap manusia baik yang berkulit hitam maupun merah, maka tidaklah dari ras kulit merah dan ras hitam yang (memeluk Islam) masuk ke dalam golongan umatku keculai dia memang termasuk dari mereka (umatku)….” (HR. Ahmad)[9]



Dengan karakteristik Islam seperti ini maka dakwah juga memiliki karakteristik yang universal. Sampai sini, maka timbul persoalan baru yaitu keragaman konteks sosial budaya masyarakat sebagai sasaran dakwah dan tunggalnya prinsip-prinsip dakwah. Tugas da’i dalam hal ini bagaimana caranya menyelaraskan prinsip dakwah yang tungal itu dalam konteks sosial budaya yang beraneka ragam. Wali Songo lebih cenderung mengambil jalan kompromistis dan adaptasionis terhadap konteks sosial budaya dan lebih sedikit mengambil bentuk-bentuk formal dalam mensosialisasikan nilai-nilai Islam.

Ketiga karakteristik dakwah di atas sekalipun tunggal dan disepakati, namun pada praktiknya mengambil bentuk yang beraneka ragam, di antaranya ada yang menafsirkan ketauhidan sebagai karakteristik ekslusif agama Islam. Di sisi lain, sebagian pakar menganggap tauhid bukan cuma karakteristik khusus dakwah Islam tetapi juga cirri khas yang terdapat dalam dakwah agama-agama lain seperti misalnya diungkap oleh dua tokoh modern Sayyid Rasyid Ridha, pengarang tafsir al-Manar, dan ulama Nusantara kenamaan dari Padang Panjang, Abdul Hamid Hakim. Kedua persfektif ini nantinya secara metodologis mengambil jalan yang berbeda. Jika kelompok pertama, dengan persfektif tauhidnya yang ekslusif, sangat antusias mengkonversi non muslim menjadi muslim dalam dakwahnya, maka kelompok yang kedua lebih memilih jalur dialog nilai-nilai universal yang Islami dalam dakwah dibanding mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya[10]. Adapun jika ada orang yang tertarik untuk pindah memeluk agama Islam, itu berlangsung secara alami dan penuh kesadaran. Nah, dalam hal ini dakwah Wali Songo (baca; Sunan Ampel) lebih dekat kepada yang kedua dibanding yang pertama.

            Sebagaimana karakteristik dakwah yang pertama, karakteristik dakwah yang kedua dan ketiga juga ditafsirkan secara berbeda-beda. Ada kelompok yang menafsirkan syumuliyah sebagai Islam manhaj hayah. Kata mereka, Islam adalah cetak biru yang mencakup semua aturan hidup dari urusan tetek bengek sampai urusan yang paling rumit seperti urusan Negara. Dakwah dalam hal ini berarti bertujuan untuk mengusahakan bagaimana caranya cetak biru itu dipakai sebagai kebijakan  publik. Sementara kelompok yang lain, seperti yang telah dijelaskan di atas lebih mengartikan syumuliyah sebagai penetrasi nilai-nilai moral Islam. Kelompok Wali Songo termasuk kepada yang kedua, bukan yang pertama. Sedangkan ‘alamiyah ditafsirkan sama, yakni sasaran dakwah adalah semua manusia tanpa terkecuali. Bedanya, sementara kelompok yang menafsirkan rabbaniyah secara ekslusif memperlakukan sasaran dakwah sebagai sasaran konversi, kelompok yang menafsirkan rabbaniyah secara inklusif memperlakukan sasaran dakwah sebagai sasaran dialog, bukan sasaran konversi. Dan di sinilah letaknya paradigma dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo[11].

Dengan demikian karakteristik dakwah dalam pandangan Wali Songo dicirikan dengan tiga hal berikut; yaiti, monoteisme inklusif, nilai-nilai moral Islam  dan sasaran dakwah sebagai sasaran dialog. Inilah yang dinamakan aliran dakwah kultural dalam konteks pembicaraan aliran pemikiran dan gerakan-gerakan dakwah yang akan dibicarakan dalam sub judul selanjutnya.



 Madzhab-madzhab Dakwah
Bagian ini lebih jauh akan membicarakan aliran-aliran pemikiran dan gerakan dakwah sebagai bagian integral dari pembahasan sejarah dakwah secara umum. Karena bagaimanapun juga, sebuah kajian kesejarahan tidak mungkin dilepaskan dari pembicaraan tentang disparitas pemikiran sebagai konsekuensi logis dari tindakan reflektif-historis. Hal pertama yang mesti menjadi catatan bersama sebelum melangkah kepada pembicaraan yang lebih serius, bahwa keluasan bidang garapan dakwah[12], merupakan faktor dominan yang ditengarai melatarbelakangi keragaman mazhab dan gerakan  dakwah dalam Islam disamping adanya pengaruh teologis dari sang  pelaku dakwah. Karena bagaimanapun juga, dakwah sebagai seruan ke jalan Allah Swt., berkepentingan untuk mengajak orang melalui aspek pendekatan yang beragam. Dakwah berkepentingan untuk menyeru manusia ke jalan Allah Swt. melalui penyampaian agama dengan ceramah-ceramah (tablîgh) dan pendidikan (ta'lîm), seperti juga dakwah berkepentingan untuk menyeru dengan sistem gerakan yang terkoordinir dan terorganisir (bi al takhtît wa al tanzîm). Wewenang dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Swt. juga berperan dalam mengakomodir kearifan-kearifan lokal dalam kerangka sistem moral Islam (akulturasi) atau malah menginspirasi dalam pembentukan kearifan tradisi baru yang diterima oleh tradisi setempat (kulturisasi).
Adapun peran pemahaman keagamaan (teologi) terhadap disparitas pemikiran atau manhaj dan gerakan dakwah ini terejewantah dalam format kecenderungan berfikir dan sikap kegamaan[13]. Kelompok Islam yang secara teologis cenderung kepada bentuk-bentuk formal agama dan agak ketat dalam memahami orisinalitas agama misalnya, dalam praktiknya lebih mengarah kepada pemikiran dan gerakan dakwah yang masif dan semiotis (simbolik). Warna dakwah ini secara kontras tentunya akan berbeda dengan sistem teologis Islam yang substansialis dan kultural. Secara praktikal pengejawantahannya dalam pemikiran dan gerakan dakwah ada dalam bentuk-bentuk dakwah non masive, tapi lebih mengarah kepada dialog budaya, intelektual dan dakwah peradaban. Semua bentuk-bentuk manhaj dan gerakan dakwah itu tidak akan dibahas di sini, namun demikian, ketiga bentuk manhaj dakwah berikut ini dianggap telah mewakili keragaman pemikiran dan gerakan dakwah: pertama, dakwah paradigma tabligh, kedua, dakwah paradigma harakah, dan ketiga, dakwah paradigma kultural.


[1] Lihat A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 136. Lihat juga; Ali Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidin Ila Thuruq al-Wa'zhi Wal Khithabah, (Mesir: Dar al-I'tisham, 1979), cet. Ke-9, h. 20. Bandingkan, Muhamad Abu al-Fath al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila 'Ilm ad-Da'wah, (Beirut-Libanon: Mu'assasah ar-Risalah, 1995), cet. ke-3, h. 31. Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 21.
[2]  Peter Salim dan  Jenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English, 1999), Cet. Ke-1, h. 1095.  Lihat juga  A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah, op.cit, h. 11

[3] Lihat; Abdullah Nasih Ulwan, Silsilah Madrasah al- Du’at, (Kairo: Dar al- Hadits, 2004), cet. Ke-1, vol. 1, h.16.
[4] A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2011) cet. Ke-1, h. 59.
[5] Lihat; Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tauhid: Its Implication for Thougt and Life, (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1992), cet. Ke-2, h. 17-18.  
[6] Ibid.
[7] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-1, h. 63.
[8] Mengutip Nurkholis Majid, A. Ilyas Ismail & Prio Hotman menjelaskan bahwa pendekatan dialog budaya dalam dakwah kultural menafikan tindakan disruptive dalam menyampaikan  dakwah, yakni memotong masyarakat dari masa lampaunya semata. Lebih dari itu, dakwah turut melestarikan apa yang baik dan benar  dari masa lampau dalam konteks ajaran universal Islam. Lihat A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, op. cit. h. 250
[9] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mawqi al-Islam), vol. 5. h. 176, hadis no. 2144
[10] Abdul Moqshit Ghazali, Argumntasi Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), h. 275-277
[11] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Wali Songo, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-2, h. 91
[12] Wilayah objek dakwah memang amat luas, terdiri dari mterial dan formal. Objek dakwah material meliputi perilaku keberagaman dalam berislam, sementara objek formal berupa perilaku umat muslim dalam teknik menyampaikan dakwah, berupa tablîgh (penyampaian materi dakwah), irsyâd (bimbingan konseling dakwah), tadbîr (manajemen dakwah)  dan tatwîr (pengembangan/akselersi dakwah). Lihat Aep Kusnawan, et.all., Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjuan Dakwah Dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Hingga Paradigma Pengembangan Professionalisme, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h. 113.
[13] Teologi yang berpusat pada persoalan doktrin, ditengarai sebagai faktor dominan yang mempengaruhi sikap keberagamaab seseorang atau kelompok. Dalam studi-studi keagamaan, disparitas pemikiran dan sikap keberagamaan yang lahir dari satu keyakinan agama tertentu biasanya dianalisa dengan pendekatan teologis. Terkait dengan disparitas pemikiran dan gerakan dalam mazhab dakwah, dpat juga ditelaah melalui analisa teologis. Lihat Peter Conolli ed., Aproaches to The Studyof Religion, alih bahasa Iman Khoiri, (Jogjakarta: LKIS, 2009), h. 320.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar