DAKWAH DAN KARAKTERISTIKNYA
Oleh: Syukron Ma'mun Aro, MA.
Oleh: Syukron Ma'mun Aro, MA.
Dakwah menurut istilah
(terminologi) sebagaimana disimpulkan oleh para pakar dakwah, ialah meliputi
pengertian yang bersifat pembinaan dan pengembangan yakni upaya mengajak umat
manusia ke jalan Allah Swt.,
memperbaiki situasi untuk lebih baik demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.[1] Di
samping itu ada juga istilah-istilah yang mengandung dakwah, yakni tadzkirah
atau indzar (memberi peringatan), nasihat, wasiat atau taushiyah, mau'izhah,
tabligh, tabyin, dan amar ma'ruf nahi munkar. Paradigma
tentang dakwah, adalah hal yang juga sangat penting dalam dakwah. Paradigma
menunjuk pada konsep atau bagan pemikiran, cara pandang, pola pikir,
asumsi-asumsi, atau kacamata yang harus dipakai oleh para da’i dalam melakukan
dakwah. Semua makna itu tercakup dalam terminology paradigma.[2] Maka,
tanpa paradigma, seorang tidak mungkin dapat berdakwah. Selain itu, para aktivis dakwah juga harus menyadari
pentingnya mengetahui karakteristik yang dimiliki oleh dakwah.
Dakwah, sebagai
sarana atau media pembumian nilai-nilai Islam, sebagaimana diuraikan oleh
banyak pakar dakwah, mengambil bentuk dalam tiga karakteristik. Pertama,
rabbaniyah (ketauhidan). Kedua, syumuliyah (komperehenship). Ketiga,
alamiyah (universal)[3].
Rabbaniyah, sejatinya diderivasi langsung dari prinsip monoteisme yang sering
disinggung dalam banyak bagian kitab suci al-Qur’an. Demikian, karena pada
hakikatnya – meminjam bahasa Ilyas Ismail dan Prio Hotman – dakwah merupakan
“perpanjangan tangan” dari ajaran Islam[4].
Dengan kata lain, dakwah merupakan instrumen bagaimana konsep Islam yang masih
berupa ide dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit-empirik pada tatanan kehidupan
masyarakat praktis. Untuk itu, dakwah mestilah berkarakteristik serupa dengan
Islam sebagai paradigmanya. Dalam hal ini, monoteisme (tauhid) sebagai pondasi
dari Islam juga menjadi pondasi dari dakwah itu sendiri.
Tauhid sebagai
pondasi dakwah pada intinya menghendaki agar manusia sebagai objeknya kembali
kepada kepribadian sejati yang masih murni (fitrah). Ini berarti paradigma dakwah
mengasumsikan bahwa manusia secara asal-usul adalah berkepribadian tauhid. Ini
misalnya, dapat dilihat dari pernyataan kitab suci al-Qur’an sebagai berikut;
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A’raf: 172)
Sebagai
asal-usul kepribadian manusia, tauhid dalam paradigma dakwah dengan demikian menjadi
orientasi atau basis segala bentuk tindakan dan kebijakan-kebijakan dakwah. Ini
bisa dimaknai bahwa poros setiap kegiatan dan tindakan dakwah dipastikan
berujung pada usaha mentauhidkan manusia. Mentauhidkan manusia, dalam pandangan
dakwah berarti memanusiawikan manusia itu sendiri sesuai dengan kepribadian
asalnya, fitrahnya. Kepribadian yang menyimpang dari fitrah berarti menyimpang
dari kemanusiawian manusia (the humanisties of humankind). Bagi dakwah
yang bertujuan merealisasikan watak ke”rahmatan lil ‘alamin”an Islam,
penyimpangan watak dasar manuisia dari fitrahnya adalah sebuah problem besar
yang perlu ditindaklanjuti[5].
Menurut Ismail
al-Faruqi, persoalan-persoalan kemanusiaan yang timbul sejatinya bertolak dari
persoalan kemonoteisan ini. Penyimpangan dari monoteisme, sebagaimana diungkap
juga oleh cendikiawan Nurkholis Majid, menyebabkan timbulnya
kesewenang-wenangan dan kezaliman dalam bidang politik, ketidak-adilan dalam
bidang hukum, kecurangan bisnis dalam bidang ekonomi, dan kebiadaban dalam
bidang sosial. Dakwah dengan karakteristik tauhidnya, dengan demikian berusaha
melalui berbagai upaya mengentaskan persoalan kemanusian seperti di atas dengan
pertama-tama mencabut akar persoalannya, yakni ketidaktauhidan – kemusyrikan[6].
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa karakteristik dakwah berangkat dari karakteristik Islam itu sendiri. Selain mendasarkan kepada tauhid, Islam sebagai sebuah konsep Ilahiah
yang bermaksud menuntun kehidupan manusia sesuai dengan kehendak Tuhan, juga
memiliki karakteristik serba meliputi (syumuliyah/comprehensive).
Maksudnya, karakteristik Islam dan kemudian karakteristik dakwah berorientasi
bagaimana caranya menderivasikan konsep ilahiah tersebut dalam semua aspek
kehidupan. Dengan kata lain, Islam dan kemudian dakwah berkarakteristik ekses
di setiap segi kehidupan tersebut. Ini bukan bermakna bahwa Islam telah
menyediakan sebuah cetak biru (blue print) sebagai pedoman praktis bagi
manusia dalam menjalani kehidupannya sebagaimana diasumsikan oleh sebagian
kalangan muslim literal belakangan ini. Karakteristik syumuliyah dalam
dakwah lebih layak dimaknai sebagai penetrasi nilai-nilai moral atau – meminjam
bahasa yurisprudensi Islam – maqashid al-syari’ah terhadap penentuan
kebijakan atau pembuatan aturan hidup bermasyarakat[7].
Hal
tersebut sangat jelas terlihat bila kita kaitkan dengan konsep dakwah Wali
Songo yang dengan metode komprominya itu tidak bermaksud menerapkan ajaran
Islam Arab ansich dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
Melainkan lebih bagaimana caranya agar pesan-pesan moral Islam atau tujuan
syari’at Islam bisa masuk dan melebur dalam budaya masyarakat, walaupun secara
zhahir terlihat kontras dengan Islam asalnya di Timur Tengah. Kendatipun
demikian bukan berarti bahwa ajaran Islam tidak berhasil disosialisasikan
terhadap masyarakat Indonesia secara menyeluruh, tapi bermakna yang lebih
kepada esensial ajaran Islam. Setiap budaya yang melekat pada pelbagai aspek
kehidupan masyarakat nusantara dan telah mengadopsi prinsip-prinsip moral atau
tujuan syari’at Islam berarti telah mengalami proses dakwah. Artinya,
karakteristik dakwah syumuliyah memiliki intens untuk masuk ke segala
sendi kehidupan masyarakat secara esensial, bukan literal dan parsial[8].
‘Alamiiyah
(universalisme) sebagai karakteristik dakwah bermakna bahwa dakwah itu memiliki
cakupan luas yang tidak terbatasi oleh baik waktu maupun teritorial. Karakteristik
ini sejatinya lahir dari watak dasar universalisme Islam itu sendiri dalam
banyak teks-teks kitab suci maupun hadis dijelaskan bahwa tujuan kehadiran Nabi
Muhammad Saw. dan ajaran Islamnya tidak ditujukan hanya untuk ras manusia
tertentu saja, dalam hal ini Arab. Dalam hal ini al-Qur’an menegaskan;
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Dalam hadis misalnya Nabi Muhammad Saw. menjelaskan
bahwa ia diutus tidak terbatas kepada ras tertentu. Beliau bersabda;
أُعْطِيتُ خَمْسًا
لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي وَلَا أَقُولُهُ فَخْرًا بُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ
وَأَسْوَدَ فَلَيْسَ مِنْ أَحْمَرَ وَلَا أَسْوَدَ يَدْخُلُ فِي أُمَّتِي إِلَّا كَانَ
مِنْهُمْ …(رواه أحمد)
“Aku telah dikaruniai lima hal
yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun (Nabi) sebelum aku, dan aku tidak
mengatakan hal ini sebagai kesombongan. Aku diutus ke setiap manusia baik yang
berkulit hitam maupun merah, maka tidaklah dari ras kulit merah dan ras hitam
yang (memeluk Islam) masuk ke dalam golongan umatku keculai dia memang termasuk
dari mereka (umatku)….” (HR. Ahmad)[9]
Dengan karakteristik Islam seperti ini maka dakwah juga memiliki
karakteristik yang universal. Sampai sini, maka timbul persoalan baru yaitu
keragaman konteks sosial budaya masyarakat sebagai sasaran dakwah dan
tunggalnya prinsip-prinsip dakwah. Tugas da’i dalam hal ini bagaimana caranya
menyelaraskan prinsip dakwah yang tungal itu dalam konteks sosial budaya yang beraneka
ragam. Wali Songo lebih cenderung mengambil jalan kompromistis dan adaptasionis
terhadap konteks sosial budaya dan lebih sedikit mengambil bentuk-bentuk formal
dalam mensosialisasikan nilai-nilai Islam.
Ketiga karakteristik dakwah di atas sekalipun tunggal dan disepakati, namun
pada praktiknya mengambil bentuk yang beraneka ragam, di antaranya ada yang
menafsirkan ketauhidan sebagai karakteristik ekslusif agama Islam. Di sisi
lain, sebagian pakar menganggap tauhid bukan cuma karakteristik khusus dakwah
Islam tetapi juga cirri khas yang terdapat dalam dakwah agama-agama lain
seperti misalnya diungkap oleh dua tokoh modern Sayyid Rasyid Ridha, pengarang
tafsir al-Manar, dan ulama Nusantara kenamaan dari Padang Panjang, Abdul Hamid
Hakim. Kedua persfektif ini nantinya secara metodologis mengambil jalan yang
berbeda. Jika kelompok pertama, dengan persfektif tauhidnya yang ekslusif,
sangat antusias mengkonversi non muslim menjadi muslim dalam dakwahnya, maka
kelompok yang kedua lebih memilih jalur dialog nilai-nilai universal yang
Islami dalam dakwah dibanding mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya[10].
Adapun jika ada orang yang tertarik untuk pindah memeluk agama Islam, itu
berlangsung secara alami dan penuh kesadaran. Nah, dalam hal ini dakwah
Wali Songo (baca; Sunan Ampel) lebih dekat kepada yang kedua dibanding yang
pertama.
Sebagaimana karakteristik dakwah yang pertama,
karakteristik dakwah yang kedua dan ketiga juga ditafsirkan secara
berbeda-beda. Ada kelompok yang menafsirkan syumuliyah sebagai Islam manhaj
hayah. Kata mereka, Islam adalah cetak biru yang mencakup semua aturan
hidup dari urusan tetek bengek sampai urusan yang paling rumit seperti
urusan Negara. Dakwah dalam hal ini berarti bertujuan untuk mengusahakan
bagaimana caranya cetak biru itu dipakai sebagai kebijakan publik. Sementara kelompok yang lain, seperti
yang telah dijelaskan di atas lebih mengartikan syumuliyah sebagai
penetrasi nilai-nilai moral Islam. Kelompok Wali Songo termasuk kepada yang
kedua, bukan yang pertama. Sedangkan ‘alamiyah ditafsirkan sama, yakni
sasaran dakwah adalah semua manusia tanpa terkecuali. Bedanya, sementara
kelompok yang menafsirkan rabbaniyah secara ekslusif memperlakukan
sasaran dakwah sebagai sasaran konversi, kelompok yang menafsirkan rabbaniyah
secara inklusif memperlakukan sasaran dakwah sebagai sasaran dialog, bukan
sasaran konversi. Dan di sinilah letaknya paradigma dakwah yang dijalankan oleh
para Wali Songo[11].
Dengan demikian karakteristik dakwah dalam pandangan Wali Songo
dicirikan dengan tiga hal berikut; yaiti, monoteisme inklusif, nilai-nilai
moral Islam dan sasaran dakwah sebagai
sasaran dialog. Inilah yang dinamakan aliran dakwah kultural dalam konteks
pembicaraan aliran pemikiran dan gerakan-gerakan dakwah yang akan dibicarakan
dalam sub judul selanjutnya.
Madzhab-madzhab
Dakwah
Bagian ini lebih jauh akan membicarakan aliran-aliran pemikiran dan
gerakan dakwah sebagai bagian integral dari pembahasan sejarah dakwah secara umum. Karena
bagaimanapun juga, sebuah kajian kesejarahan tidak mungkin dilepaskan dari
pembicaraan tentang disparitas pemikiran sebagai konsekuensi logis dari
tindakan reflektif-historis. Hal pertama yang mesti menjadi catatan bersama
sebelum melangkah kepada pembicaraan yang lebih serius, bahwa keluasan bidang
garapan dakwah[12], merupakan faktor dominan
yang ditengarai melatarbelakangi keragaman mazhab dan gerakan dakwah dalam Islam disamping adanya pengaruh
teologis dari sang pelaku dakwah. Karena
bagaimanapun juga, dakwah sebagai seruan
ke jalan Allah Swt.,
berkepentingan untuk mengajak orang melalui aspek pendekatan yang beragam.
Dakwah berkepentingan untuk menyeru manusia ke jalan Allah Swt. melalui
penyampaian agama dengan ceramah-ceramah (tablîgh) dan pendidikan (ta'lîm),
seperti juga dakwah berkepentingan untuk menyeru dengan sistem gerakan yang
terkoordinir dan terorganisir (bi al takhtît wa al tanzîm).
Wewenang dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Swt. juga berperan dalam
mengakomodir kearifan-kearifan lokal dalam kerangka sistem moral Islam
(akulturasi) atau malah menginspirasi dalam pembentukan kearifan tradisi baru
yang diterima oleh tradisi setempat (kulturisasi).
Adapun peran pemahaman keagamaan (teologi) terhadap disparitas pemikiran atau manhaj dan gerakan
dakwah ini terejewantah dalam format kecenderungan berfikir dan sikap kegamaan[13].
Kelompok Islam yang secara teologis cenderung kepada bentuk-bentuk formal agama
dan agak ketat dalam memahami orisinalitas agama misalnya, dalam praktiknya
lebih mengarah kepada pemikiran dan gerakan dakwah yang masif dan semiotis
(simbolik). Warna dakwah ini secara kontras tentunya akan berbeda dengan sistem
teologis Islam yang substansialis dan kultural. Secara praktikal
pengejawantahannya dalam pemikiran dan gerakan dakwah ada dalam bentuk-bentuk
dakwah non masive, tapi lebih mengarah kepada dialog budaya, intelektual dan
dakwah peradaban. Semua bentuk-bentuk manhaj dan gerakan dakwah itu tidak akan
dibahas di sini, namun demikian, ketiga bentuk manhaj dakwah berikut ini
dianggap telah mewakili keragaman pemikiran dan gerakan dakwah: pertama,
dakwah paradigma tabligh, kedua, dakwah paradigma harakah, dan ketiga,
dakwah paradigma kultural.
[1]
Lihat A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi
Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 136.
Lihat juga; Ali Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidin Ila Thuruq al-Wa'zhi Wal
Khithabah, (Mesir: Dar al-I'tisham, 1979), cet. Ke-9, h. 20. Bandingkan,
Muhamad Abu al-Fath al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila 'Ilm ad-Da'wah,
(Beirut-Libanon: Mu'assasah ar-Risalah, 1995), cet. ke-3, h. 31. Asmuni Syukur,
Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 21.
[2] Peter Salim dan Jenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Modern English, 1999), Cet. Ke-1, h. 1095. Lihat juga A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah, op.cit,
h. 11
[3] Lihat; Abdullah Nasih Ulwan, Silsilah
Madrasah al- Du’at, (Kairo: Dar al- Hadits, 2004), cet. Ke-1, vol. 1, h.16.
[4] A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat
Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta, Prenada
Media, 2011) cet. Ke-1, h. 59.
[5] Lihat; Ismail Raji al-Faruqi,
Al-Tauhid: Its Implication for Thougt and Life, (Virginia: The
International Institute of Islamic Thought, 1992), cet. Ke-2, h. 17-18.
[6] Ibid.
[7] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial
Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-1, h. 63.
[8] Mengutip Nurkholis Majid, A. Ilyas
Ismail & Prio Hotman menjelaskan bahwa pendekatan dialog budaya dalam
dakwah kultural menafikan tindakan disruptive dalam menyampaikan dakwah, yakni memotong masyarakat dari masa
lampaunya semata. Lebih dari itu, dakwah turut melestarikan apa yang baik dan
benar dari masa lampau dalam konteks
ajaran universal Islam. Lihat A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, op. cit.
h. 250
[9] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad,
(Mawqi al-Islam), vol. 5. h. 176, hadis no. 2144
[10] Abdul Moqshit Ghazali, Argumntasi
Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Kata
Kita, 2009), h. 275-277
[11] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah
Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Wali Songo, (Bandung: Mizan, 1995), cet.
Ke-2, h. 91
[12]
Wilayah objek dakwah memang amat luas, terdiri dari mterial dan formal. Objek
dakwah material meliputi perilaku keberagaman dalam berislam, sementara objek
formal berupa perilaku umat muslim dalam teknik menyampaikan dakwah, berupa tablîgh
(penyampaian materi dakwah), irsyâd (bimbingan konseling dakwah), tadbîr
(manajemen dakwah) dan tatwîr
(pengembangan/akselersi dakwah). Lihat Aep Kusnawan, et.all., Dimensi Ilmu
Dakwah: Tinjuan Dakwah Dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Hingga
Paradigma Pengembangan Professionalisme, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009),
h. 113.
[13]
Teologi yang berpusat pada persoalan doktrin, ditengarai sebagai faktor dominan
yang mempengaruhi sikap keberagamaab seseorang atau kelompok. Dalam studi-studi
keagamaan, disparitas pemikiran dan sikap keberagamaan yang lahir dari satu
keyakinan agama tertentu biasanya dianalisa dengan pendekatan teologis. Terkait
dengan disparitas pemikiran dan gerakan dalam mazhab dakwah, dpat juga ditelaah
melalui analisa teologis. Lihat Peter Conolli ed., Aproaches to The Studyof
Religion, alih bahasa Iman Khoiri, (Jogjakarta: LKIS, 2009), h. 320.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar